Keberhasilan pemerintah untuk meningkatkan angka rata-rata lama sekolah dari 2 di tahun 1950 menjadi 8 di tahun 1990 belum mamp u diimbangi dengan sukses pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hasil survey PISA, maupun TIMMs yang menempatkan Indonesia di posisi bawah merupakan fakta empirik tentang "kegagalan" itu. Pemerintah sadar tentang hal itu. Maka lahirlah program sekolah penggerak. Sekolah penggerak selain diharapkan akan mampu menjadi katalisator untuk peningkatan kualitas pendidikan -- literasi numerasi sebagai fondasi- juga sekaligus diharapkan akan menjadi "herbarium" bagi pengembangan kompetensi siswa secara hilistik dalam rangka terwujudkan profil pelajar Pancasila. Program sekolah penggerak dirancang secara kolaboratif.
Berbagai stakeholder terlibat dalam program ini. Mereka dibekali tugas dan peran yang berbeda, namun memiliki misi dan visi yang sama. Karena memang mereka "menapaki" peta jalan yang sama yakni terwujudnya profil pelajar Pancasila. Fasilitator Sekolah Penggerak adalah salah satu figure sentral dalam PSP. Memperhatikan peran tugas fasilitator sekolah penggerak maka tidak bisa dipungkiri jika beban berat untuk keberhasilan PSP ada di bahu para Fasilitator Sekolah Penggerak.
Â
Ada sepuluh (10) butir tugas dan peran para FSP. Tugas peran tersebut bukan hanya berkaitan dengan coaching atau pendampingan dalam rangka menumbuhkembangkan prakarsa transformasi warga sekolah, namun lebih dari itu juga dipastikan berkaitan dengan tugas-tugas bersifat teknis dan pragmatis. Peran dan tugas yang berat tersebut mengharuskan seorang FSP bukan saja secara akademik kompeten, namun juga harus kreatif dan inovatif dalam menentukan langkah coaching  serta progressive menghadapi perubahan  paradigmatis yang telah berimplikasi pada seluruh tatatan kehidupan manusia termasuk pendidikan. Begitu penting peran dan tugas Fasilitator Sekolah Penggerak ( FSP), maka tidak berlebihan jika nantinya dia akan menjadi referensi hidup oleh warga sekolah. Bisa jadi, bagi sebagian warga sekolah Fasilitator dianggap sebagai "Manusia setengah Dewa" yang tahu segalanya. Paling tidak ada tiga tantangan perubahan yang akan dihadapi fasilitator di sekolah. Tantangan tersebut mengubah mind set atau paradigma seluruh warga sekolah Pengawas sekolah, Kepala sekolah, serta guru dalam menghadapi dinamika yang terjadi- ( Implementasi Kurikulum Merdeka ).
Seorang fasilitator sekolah penggerak dipastikan memiliki kesadaran tinggi, bahwa mengubah mindset warga sekolah bukan perkara gampang. Dibutuhkan upaya-upaya sistematis dan konsisten sebagai bentuk intervensinya. Bahwa, sebagian dari kita mungkin sepakat bahwa paradigma lama tentang lingkungan sekolah bagi sebagian siswa sangat identik dengan tugas berat yang harus diselesaikan. Kondisi ini tentunya memberikan implikasi psikologis bagi siswa bahkan sebelum mereka menginjakan kaki di sekolah. Bayang-bayang tugas yang menumpuk, raut wajah guru yang "menakutkan", lingkungan sekolah yang "menyeramkan" selalu menghantui pikiran siswa. Dalam kondisi seperti ini maka jangan berharap proses pembelajaran bisa berjalan efektif. Dalam perspektif merdeka belajar, maka kepala sekolah dan manajemen di dalamnya harus mempu mengubah paradigma lama ini menjadi paradigma baru. Upaya transformasi untuk menjadikan lingkungan sekolah yang menyenangkan, menantang siswa untuk berkreasi sesuai dengan potensinya menjadi sebuah keniscayaan. Dalam kontek ini, maka Fasilitator sekolah penggerak harus mampu menggerakan kepala sekolah agar mampu mengubah paradigmanya dari sosok  pengatur, ke sepenuhnya menjadi pelayan siswa dan orang tua.
Fasilitator diharapkan mampu mengakselari guru dalam mentransformasikan dirinya dari pelaksana kurikulum menjadi pemilik dan pembuat kurikulum. Ketika pembelajaran berlangsung guru tidak lagi menjadikan dirinya sebagai sumber pengetahuan satu-satunya bagi siswa, namun dia adalah katalis dan  fasilitator dari berbagai sumber pengetahuan. Untuk itu guru dituntut untuk selalu mengupdate kompetensinya agar sejalan dengan perkembangan sains dan tehnologi bidang pendidikan serta makin rigidnya ekspektasi orang tua terhadap mutu lulusan. Guru harus mampu memerankan diri bukan saja sebagai mitra akademik siswa, namun juga sebagai referensi hidup bagi siswanya. Dengan demikian, fokus pembelajaran berpusat pada siswa. Siswa tidak lagi pasif sebagai objek, namun dia sekaligus sebagai subjek. Siswa menerima materi sesuai dengan capaian kompetensi sebelumnya. Bukan saja karena telah dilakukan analisis assessment namun juga karena mereka sudah tersegmentasi dengan baik oleh guru.
Pada dimensi yang berbeda seorang FSP harus mampu membanguan kesadaran kolektif seluruh warga sekolah bahwa perubahan kurikulum itu sebuah keniscayaan. Reorientasi kurikulum satuan pendidikan dari kurikulum berbasis isi ke kurikulum berbasis kompetensi harus menjadi prakarsa yang diniatkan semua pihak. Seorang FSP harus mampu menjadi garda terdepan untuk menjaga konsistensi seluruh warga sekolah. Kurikulum tidak lagi kaku sebagaimana yang terjadi selama ini, namun kurikulum dikembangkan secara fleksibel. Adaptif dengan kondisi yang paling uptodate,  dinamis serta linier dengan kebutuhan pasar. Konsekwensi transformasi kurikulum ini adalah  kurikulum tidak lagi berbasis konten yang berfokus pada kegiatan akademik dengan capaian berbentuk deretan angka-angka,  namun berbasis kompetensi dengan indikator tingginya capaian soft skill melalui fondasi karakter yang makin kuat dan matang. Lulusan harus mampu menunjukan diri sebagai sosok yang kompeten melalui kemampuan abad 21 yang lebih dikenal dengan kemampuan 4 C ( Critical Thingking, Collaboration, Creativity serta Communication ). Dengan kata lain, lulusan atau outcome selain memiliki kemampuan global, juga memiliki karakter yang kuat sebagai bagian dari anak bangsa. Dalam kaitannya dengan sstem penilaian, maka perlu reorientasi yakni dari dari sistem penilaian yang masih bersifat assessment of learning atau penilaian sumatif bergeser menjadi assessment as learning atau penilaian formatif namun pada saat yang bersamaan juga berlangsung assessment for learning. Dampak ( imfact ) penilaian tidak lagi dirasakan sebagai penghukuman, namun bersifat mendukung proses perkembangan siswa.
Sekolah adalah miniatur kehidupan sosial. Daur kehidupan masyarakat juga berlangsung di sekolah. Karenanya adaptif  dengan perkembangan yang berlangsung di luar sebuah keniscayaan bagi sekolah. Makanya transformasi sekolah bukanlah sesuatu yang sakral, justru mau melakukan transformasi akan menyelamatkan kita dari guncangan perubahan peradaban manusia yang kini kian masiv terjadi. Dan dalam kontek ini maka seorang FSP dituntut untuk menjadi pilar utama perubahan di sekolah yang menjadi binaanya. Untuk itu selain harus memiliki kapabelitas, kreaatif inovatif, serta memiliki jiwa progressive seorang FSP juga dituntut untuk selalu mengembangkan kompetensinya melalui berbagai kegiatan. Semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H