Dalam banyak kesempatan  saya sering ditanya oleh teman-teman guru, kepala sekolah bahkan tenaga kependidikan lainnya. Pertanyaanya sederhana dan normatif. " Pak , sesungguhnya saya sangat kepingin menulis. Ide kadang-kadang muncul. Namun dalam perjalanan kok tiba-tiba macet ya? gimana tu cara  mengatasinya?"
Ya, menulis bukan pekerjaan mudah. Namun juga tidak sulit untuk dilakukan. Dalam perspektif budaya literasi, ada dua hal mendasar yang selama ini masih menjadi kendala dalam pelaksanaan gerakan literasi. Pertama berkaitan dengan budaya. Kedua berkaitan dengan masa depan penulis itu sendiri khususnya jika dikaitkan dengan kebermanfaatan secara ekonomi.
Budaya literasi kita memang masih jauh dibadingkan dengan negara-negara tetangga. Studi Most Littered Nation in The World tahun 2016 lalu menempatkan Indonesia pada posisi 60 dari 61 negara sebagai negara yang memiliki minat baca paling rendah per tahun. Hal ini juga berkorelasi dengan studi tentang  rata-rata judul buku yang dibaca penduduk negara di dunia dimana Indonesia memiliki skor 0. Negara lain seperti Jerman membaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 judul buku, Jepang 15 judul buku, Rusia 12 judul buku, Brunai 7 judul buku sedangan Singapura dan Malasia membaca 6 judul buku.
Studi ini sesungguhnya tak terbantahkan. Fakta empirik menunjukan jika bangsa kita masih lebih memilih budaya verbal ketimbang budaya baca. Contoh paling sederhana, ketika kita ingin mengoperasikan sesuatu, maka kita akan lebih senang bertanya tentang cara operasional sesuatu itu kepada tetangga, saudara atau orang lain, ketimbang kita membaca petunjuk tertulis yang sudah disediakan. Baik langsung maupun tidak langsung, rendahnya minat baca ini berkorelasi dengan rendahnya budaya tulis masyarakat kita.Â
Perlu perjalanan panjang agar budaya menulis di Indonesia benar-benar terwujud. Semua akan bergantung  pada kita semua. Menulis selain memerlukan ketekunan juga membutuhkan ambisi besar. Ada adagium yang menyebutkan mulailah dari hal-hal kecil jika ingin menjadi besar. Perspektif yang sama juga berlaku bagi para penulis. Hampir semua  penulis dengan karya besar memulai karirnya dari hal kecil. Membaca berbagai jenis atau genre referensi. Rajin mengumpulkan kliping, hingga telaah  artikel para kolumnis favoritnya di media cetak. Pendek kata, dibutuhkan  "jam terbang" cukup lama sebelum benar-benar menjadi penulis handal.
Tak cukup bermodal ketekunan . Namun penulis juga harus memiliki ambisi besar. Sedikit ambisius agar mampu melahirkan karya yang maksimal. Penulis bukan dilahirkan bergitu saja seperti lahirnya bayi dari Rahim ibu. Penulis dilahirkan dari sebuah proses kontemplasi. Kemauan besar untuk menulis merupakan dorongan dari dalam ( inner drive ) yang secara psikologis akan memperkuat manusia untuk melakukan sesuatu di atas kemampuan rata-rata manusia. Maka lahirlah yang disebut dengan pantang menyerah. Kegagalan berulang yang dialami tidak akan menyurutkan  semangat dan ambisinya. Makanya jangan heran jika ada kolumnis/ penulis bidang sains yang pada awal karirnya  artikel yang dikirim ditolak berkali-kali oleh redaksi atau berkali-kali gagal dalam sebuah kompetisi.
Menjadi seorang penulis professional ( penulis buku ) memang tidak menjanjikan seseorang menjadi kaya. Diambil dari Manistebu.com hasil studi yang dilakukan Author's Licensing and Collecting Society (ALCS) bekerja sama dengan Queen Mary, University of London menunjukan dibandingkan dengan kebutuhan dasar warga Inggris, penghasilan pengarang/ penulis buku di Inggris masih belum memadai. Untuk mampu memenuhi kebutuhan dasar di Inggris, seseorang harus memiliki penghasilan sebesar  16.865 pounsterling per tahun. Sedangkan penghasilan penulis professional hanya 11.000 poundsterling. Kondisi ini menunjukan jika penghasilan seorang penulis professional di Inggris masih belum mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Jika di Inggris yang budaya bacanya sudah tinggi saja seperti itu, lantas bagaimana dengan Indonesia. Secara umum kondisinya tidak lebih baik dibandingkan dengan Inggris. Penulis professional rata-rata mengandalkan pendapatannya dari royalty yang diterima dari penerbit. Besaran royalty di Indonesia antara 7-10% dari harga jual buku per eksemplar. Bisa dibayangkan berapa besar royalty yang diterima penulis Indonesia di tengah rendahnya budaya baca,
Saya sendiri tidak bisa meprediksi berapa jumlah royalty yang diterima dari beberapa buku yang sudah saya terbitkan. Memang royalty bukan tujuan utama menulis buku. Tujuan utamanya adalah memberikan sumbang sih dalam program gerakan literasi nasional, dalam kerangka reorientasi pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang mampu berpikir kritis analitik, melalui keterampilan abad 21.
Jumlah royalty dari hasil penjualan buku paling tinggi yang pernah saya terima sekitar 2 juta per tahun. Jadi, anda bisa bayangkan apakah seorang penulis buku bisa hidup "normal" dengan penghasilan sebesar itu? Ya, saya beruntung menulis bukanlah pekerjaan penuh waktu. Namun selain berkaitan dengan pengembangan profesi, juga sebagai penyalur hobi yang saya geluti separuh lebih kehidupan saya. Buku-buku yang saya tulis lebih banyak saya bagikan sebagai cinderamata kepada para sahabat.
Budaya baca tulis memang perlu implementasi, bukan hanya sebatas retorika. Untuk itu hendaknya seluruh komponen masyarakat bahu membahu mengembangkan budaya baca tulis sesuai dengan kapasitasnya. Tugas untuk menghapus stigma sebagai warga yang "rabun membaca, pincang menulis" harus bisa kita hilangkan.
Penulis,
Pengawas Sekolah, Mantan Jurnalis, Penulis Buku.