Satu hari setelah masuk ruang ICU kami anak-anaknya menjenguk melihat kondisi ibu saya. Hati begitu hancur dan sedih melihat ibu tercinta kami di pasang alat-alat dalam ICU. Harapan dan doa yang tidak putus dari kami anak-anaknya agar ibu saya bisa kembali pulih dan bermain bersama kami anak-anak dan cucu-cucunya.
Air mata menetes dari mata ibu kami setelah melihat anaknya, entah apa yang ingin beliau katakan, kami tidak dapat memahami karna ada alat pernafasan dimulutnya yang tidak bisa di lepas.
Tidak kuat rasanya menahan tangis, tapi kami berusaha agar jangan terlihat sedih di depan ibu kami yang sedang terbaring kesakitan di ruang ICU.
Suster penjaga mengatakan malam nanti ibu saya akan melakukan cuci darah yang kedua, dan sekaligus transfusi darah karna hb terus turun.
Ya allah, hati begitu hancur mendengarnya. Tak berhenti mulut kami mengucap doa kepada Allah SWT agar ibu kami diangkat penyakitnya. Kami tunggu semalaman, berharap ada hasil yang baik. Namun Allah SWT berkehendak lain, setelah di lakukan cuci darah kedua, ibu saya wafat. Beliau bertahan hanya 4 jam dari cuci darah yang kedua.
Lalu kami masuk ke  dalam, melihat jasad ibu kami sedang di copot alat, beliau sekarang sudah tidak sakit, beliau memang pernah bilang tidak mau cuci darah karna takut meninggal, ternyata memang benar.
Dan inilah akhir perjalanan ibu saya, semoga kisah ini bisa bermanfaat kepada siapapun yang peduli akan diabetes. Sayangilah mereka, dan sayangi diri kita. Bagaimanpun mencegah lebih baik dari pada mengobati. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H