Beberapa hari belakangan ini, selain pasokan tempe yang 'amblas' dari pasaran, soal Jokowi dan pencapresan, kontroversi Miss World, ada berita yang menghangat beberapa hari terakhir ini, yaitu, kecelakaan maut yang menimpa putra musisi kenamaan Ahmad Dhani.
Dalam dua hari ini, berita kecelakaan tersebut (hampir) menyedot seluruh perhatian publik. Kejadian naas tersebut ibarat bola panas yang sedang memburu AQJ (Dul) sebagai pihak yang sangat patut untuk disalahkan. Berita yang ada tak hanya berputar di antara penyebab kecelakaan, berapa banyak korban yang meninggal dan luka-luka, kesedihan keluarga yang ditinggalkan, sistem keamanan mobil penabrak dan korban, kontroversi ABG yang keluar malam, tak punya SIM, dan mengendarai mobil tanpa izin, peran serta orang tua yang dianggap lalai dalam mengawasi anak (Ahmad Dhani dan Maia Estianty), serta tuntutan hukuman bagi tersangka utama, yakni AQJ (Dul).
Oleh karena sudah banyak berita maupun opini yang berkutat di antara hal-hal tersebut di atas, maka ada baiknya jika kejadian ini juga menjadi bahan introspeksi bagi kita, sebagi orang tua, kakak, adik, maupun masyarakat umum yang berhadapan dengan hal-hal serupa, seperti kenakalan remaja maupun kurangnya kontrol orang tua.
Selama ini fenomena ABG yang membawa kendaraan bermotor sendiri (sebenarnya) sudah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat. Kita tak perlu melihat ABG kota, bahkan ABG desa pun memandang hal itu (baca: mengendarai kendaraan bermotor) sebagai sebuah kebanggaan. Kebanggaan macam apa? Kebanggaan jika orang tua tergolong sukses, kebanggaan karena bisa dianggap 'gaul' oleh teman sepermainan, kebanggaan antar orang tua ("Wah, kecil-kecil udah bisa naik (baca: mengendarai) motor"), atau pun kebanggaan-kebanggaan lain. Dalam hal ini saja, kita sudah mendapati sebuah kenyataan yang salah kaprah. Sebagai orang tua maupun orang yang lebih dewasa, kita bertugas untuk mengarahkan, membimbing ABG-ABG, adik-adik kita untuk berjalan di rel aturan yang seharusnya. Akan tetapi, hal itu seakan sulit untuk dilakukan karena kita lebih cenderung mewariskan 'kesalahan' (baca: ketidaktaatan pada aturan) kita kepada anak-anak kita. Terkadang kita lupa jika anak-anak adalah peniru ulung. Bahwasanya, segala tutur kata maupun tingkah laku kita menjadi bahan pelajaran bagi mereka. Ketika kita memberikan contoh yang baik mereka akan meniru, dan ketika kita memberikan contoh yang kurang baik, mereka juga akan meniru. Oleh karena itulah mengapa kita, sebagai orang yang lebih dewasa diharapkan bisa lebih mengontrol apa yang kita ucapkan maupun lakukan, karena kita adalahrole model bagi anak-anak kita. Jikalau bukan kita yang membimbing dan mengarahkan mereka, siapa lagi?
Dalam kasus putra Ahmad Dhani, ada baiknya kita tidak hanya turut serta menghakimi. Ada baiknya kita juga menjadikannya sebagai refleksi dan antisipasi. Refleksi terhadap kondisi keluarga kita, apakah kita juga memberikan 'kebebasan' yang sama terhadap putra-putri kita (kebebasan dalam mengendarai kendaraan bermotor, kebebasan dalam pergaulan), dan antisipasi agar kejadian serupa bisa kita hindari. Apabila kita belum memberikan 'kebebasan' kepada putra-putri kita, kita bisa belajar untuk menundanya, jika kita sudah terlanjur memberikan 'kebebasan' itu, kita bisa lebih mawas diri untuk tidak lepas kendali terhadap tumbuh kembang putra-putri kita.
Berefleksi pada kasus AQJ (Dul) yang terus merebak juga pada hubungan asmaranya dan kekasihnya. Kita juga harus menyadari bahwa zaman sudah berubah, termasuk pola pergaulan anak-anak ABG-nya. Sebagai orang tua, kita tidak bisa lagi menerapkan metode asuhan yang sama terhadap anak-anak yang lahir era 80-an dengan anak-anak yang lahir era 90-an sampai 2000-an. Perubahan sosial, pengaruh teknologi, maupun globalisasi harus membuat para orang tua lebih terbuka dalam menambah wawasan terkait cara-cara mendidik anak dengan tepat. Dalam hal ini, orang tua sebaiknya tidak hanya menyalahkan pengaruh lingkungan, sosial media, maupun pengaruh budaya barat yang menjadi  penyebab perilaku 'liar' remaja-remaja sekarang, tetapi juga berkaca pada diri mereka sendiri, apa yang sudah mereka lakukan untuk menghindarkan putra-putri mereka dari pengaruh negatif hal-hal tersebut. Ada baiknya, kita tidak hanya garang dalam menghakimi orang lain, menyalahkan orang tua yang salah mengasuh anak, bahkan mengutuki kegagalan mereka, tetapi sebagai orang tua hendaknya kita bisa lebih bijak memandang masalah yang ada. Ajarkanlah kebijaksanaan, kedewasaan dalam berpikir, maupun kebaikan dalan bertutur kata dan bertingkah laku kepada putra-putri kita agar mereka mampu tumbuh menjadi orang-orang muda yang berkarakter kuat, berpikiran positif, dan berjiwa luhur, karena mereka adalah calon penerus bangsa kita, Indonesia.
Hendaklah kejadian yang menimpa Ahmad Dhani dan keluarga menjadi cermin bagi kita, para orang tua, untuk bisa menjadi orang tua danrole model yang lebih baik bagi putra-putri kita. Berhentilah menghakimi, salurkan opini kita dengan pikiran terbuka, semoga proses hukum tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya, sehingga keadilan bisa ditegakkan bagi masyarakat Indonesia.
Melihat keburukan dan menghakimi orang lain lebih mudah dilakukan daripada berkaca pada diri sendiri dan mengakui jika diri kita (pun) tak luput dari keburukan yang sama (Anonim).
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H