Sejak dulu, selalu saja kita terbawa mindset tentang desa dalam frame “kampungan”. Segala sesuatu tentang desa dikaitkan dengan sesuatu yang tidak up to date, kumuh, ketinggalan jaman, dan lapangan pekerjaan yang tak jauh-jauh dari sawah dan kebun. Pandangan ini tentu beralasan, karena realita di lapangan yang bisa kita saksikan saat ini, tidak jauh berbeda dengan apa yang banyak dipikirkan oleh orang-orang tentang desa. Hal yang paling menarik dari desa bagi orang-orang yang setiap harinya berkutat pada kemajuan teknologi serta modernisasi, hanyalah hehijauan dan kesunyian untuk menenangkan kepenatan setelah bekerja selama berhari-hari, tidak lebih. Tentu, jika ingin dibandingkan dengan kehidupan di kota dengan segala progresnya, desa sangat jauh ketinggalan. Perkembangan infrastruktur, teknologi, komunikasi, dan informasi yang pesat hanyalah terdapat di kota. Sedangkan desa, asyik menikmati kehidupan khas lokal, tanpa ada inisiatif melakukan perubahan. Stagnansi yang nikmat, begitulah kira-kira.
Kehidupan yang begitu-begitu saja, lapangan pekerjaan yang sulit, serta minimnya sarana dan pra-sarana inilah yang menyebabkan desa kehilangan peminatnya. Penduduk desa mulai berbondong-bondong pindah ke kota, berharap mendapatkan kehidupan yang lebih layak, dengan bermodalkan apa adanya atau bisa dikatakan nekat. Alasannya hanya satu, pekerjaan. Walhasil, bukannya mendapatkan kehidupan yang layak, mereka malah menjadi beban baru bagi kota. Hidup di tempat-tempat yang tidak layak, menambah kepadatan penduduk, hingga merusak pemandangan kota. Belum lagi jumlah tingkat kriminalitas yang kian bertambah, seiring dengan pesatnya tradisi adu nasib ini. Lalu kepada siapakah kita harus mengadu? Percuma saja pemerintah kota merumuskan berbagai tata tertib dan aturan yang membludak, hanya untuk menertibkan masyarakat kota serta tata letak kota yang seharusnya memberikan kenyamanan, jika permasalahan penduduk masih belum dikoordinir dengan baik. Disinilah letak peran utama dari kerjasama pemerintah kota dan desa dalam menarik mereka yang membutuhkan pekerjaan.
Dengan adanya Dana Desa yang diatur dalam UU No.6 th 2014, desa diberikan ruang untuk menarik kembali peminatnya. Sejumlah dana yang dikucurkan oleh pemerintah, dapat digunakan oleh pemerintah desa dalam melakukan pembangunan di sektor-sektor strategis. Terlebih, desa diberikan kewenangan dalam mengelola BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), sehingga memungkinkan diberdayakannya berbagai macam produksi berskala lokal dengan potensi dan kualitas nasional bahkan mancanegara. Pengembangan di sektor ekonomi tentu sangat penting dalam menarik pekerja-pekerja yang berpengalaman di bidangnya, selain juga memberikan kesempatan bagi desa untuk belajar bagaimana mengembangkan usaha atau produksi yang baik. Pembangunan infrastruktur, sarana dan pra-sarana yang efektif dan efisien sangat berguna dalam meramaikan desa. Tentu pembangunan yang baik tidak boleh melewatkan pengadaan berbagai hal yang sifatnya meningkatkan komunikasi dan diwajibkan untuk selalu mengikuti perkembangan teknologi modern. Dengan mengikuti perkembangan teknologi dan komunikasi, maka desa akan mampu mengupgrade kemampuannya dalam mengolah SDA, SDM, potensi-potensi wisata, agrobisnis, dan lain sebagainya.
Dampak penggunaan dana desa yang efektif dan efisien untuk jangka panjang setidaknya akan melahirkan program-program yang memiliki daya tarik tinggi. Sehingga kelak frame “Desa kampungan” akan hilang, seiring dengan kemajuan dan perkembangan desa dalam mengelola wilayahnya sendiri. Semoga hal ini mampu terwujud dalam waktu dekat ini. Wassalam (MA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H