Mohon tunggu...
Ahmad Mutiul Alim
Ahmad Mutiul Alim Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Tertarik pada semua gejala sosial dan agama. Suka Travelling, Musik, dan Olahraga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kekeringan Masalah Sepele? Pikirkan Lagi!

8 Agustus 2015   16:15 Diperbarui: 8 Agustus 2015   16:51 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu, saya (seperti kebanyakan mahasiswa tingkat akhir umumnya) melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) ke Kabuoaten Purwakarta, lebih tepatnya Desa Kutamanah Kecamatan Sukasari selama dua bulan. Pertama kali memasuki desa ini, mata disuguhi oleh pemandangan indah waduk Jatiluhur yang konon katanya merupakan waduk terbesar se-Asia Tenggara. Lahan-lahan yang ditanami bambu oleh warga, memberikan nuansa hijau dan segar, meski saat ini Indonesia sedang dilanda musim kemarau. Namun, keindahan alam yang hijau nan asri Desa Kutamanah ternyata menyimpan fakta yang miris. Tiga dari lima kampung yang terdapat di desa tersebut kesulitan mendapatkan air bersih sejak 3 tahun yang lalu. Otomatis, berbagai kebutuhan dasar masyarakat menjadi terganggu. Salah satunya kampung Ciputat, di mana untuk mendapatkan sebanyak satu tangki (300 liter), warga harus membeli air bersih kepada penyedia jasa air bersih setempat dengan harga yang tidak murah, 100 ribu rupiah. Hal ini dilakukan karena sumur dan sumber mata air yang mereka miliki sudah kering. Dan sudah beberapa kali juga warga mencoba menggali sumur yang lebih dalam, namun hasilnya tetap saja nihil. Sebenarnya warga pun memiliki opsi untuk mendapatkan aliran air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) terdekat, namun karena jarak antara penyedia jasa PDAM dengan kampung Ciputat yang terlampau jauh, dan jumlah seluruh pipa yang tidak sanggup dipenuhi oleh pihak PDAM, maka warga berusaha untuk menyambung pipa besi yang mampu disediakan oleh PDAM, dengan pipa paralon yang disediakan oleh warga. Walhasil, pipa paralon ebih sering meledak, karena tidak mampu menahan debit air yang terlalu kencang. Dan kampung Ciputat tetap saja dilanda kekeringan.

Fenomena semacam ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia saat ini. Desa-desa yang berada di sekitar Gunung Kidul merupakan daerah langganan kekeringan ketika negara ini memasuki musim kemarau. Bahkan bogor yang mendapatkan julukan kota hujan pun, pasrah ketika sudah hampir dua bulan tidak turun hujan, yang menyebabkan warga di kaki gunung Salak harus berjuang mendapatkan stok air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Begitu juga dengan Kabupaten Malang yang akhir-akhir ini berjuang keras untuk menghemat persediaan air, agar stok air di wilayah tersebut tetap terjaga dalam menghadapi bencana kekeringan yang juga sudah mendera berbagai daerah di Indonesia. Melihat hal semacam ini, siapakah yang harus bertanggung jawab? Mengingat kebutuhan masyarakat terhadap air merupakan kebutuhan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kekeringan bisa saja terjadi karena beberapa sebab, diantaranya faktor curah hujan yang jatuh sangat minim, sehingga tidak ada air yang mampu disimpan oleh tanah untuk membuat stok-stok penyimpanan air tanah. Kekeringan bisa juga merupakan efek penebangan liar yang sukses membuat hutan-hutan menjadi gundul, secara otomatis penyerapan air tanah menjadi tidak sempurna, sehingga kekeringan sumur-sumur atau sumber mata air menjadi tidak terhindarkan. Atau bisa jadi kekeringan merupakan dampak lokasi daerah di dataran yang agak tinggi, sehingga air (meskipun tersedia) sulit dijangkau dengan sumur-sumur galian warga. Dari ketiga faktor tersebut, saya memiliki pandangan tersendiri untuk mengobati problem kekeringan yang terjadi di negeri ini.

Kekeringan yang disebabkan oleh faktor penebangan liar yang berefek pada gundulnya hutan dan meminimalkan peran tanah dalam menyimpan stok-stok air, dapat diperbaiki dengan cara tata kelola alam yang baik. Tata kelola alam yang baik maksudnya adalah penanaman kembali hutan-hutan yang gundul (Reboisasi), agar penyerapan air dapat berjalan dengan maksimal. Desa pun harus turun tangan dalam mengelola kondisi alam tetap terjaga. Antisipasi dan usaha-usaha pencegahan perlu dilakukan untuk menjaga kondisi alam tetap stabil, sehingga kekeringan tidak menjadi kendala yang begitu besar di tengah-tengah masyarakat. Saya sangat setuju dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Marwan Ja'far terkait kekerinagn saat ini, yang mengatakan bahwa desa dan masyarakat harus bekerja sama dalam mengelola air dan alam dalam meminimalisir dampak kekeringan (Baca: Atasi Kekeringan, Perlunya Tata Kelola Air dan Alam)

Sedangkan untuk kekeringan yang disebabkan oleh minimnya curah hujan atau daerah yang berlokasi di ketinggian, yang menyebabkan sulitnya mendapatkan sumber mata air melalui sumur-sumur galian, dapat disiasati dengan membangun waduk-waduk penampungan air dan saluran irigasi untuk membantu pengairan selama musim kemarau. Dana desa yang sudah mulai cair bulan ini, seharusnya menjadikan desa cepat tanggap dalam membangun kedua infrastruktur tersebut. Karena posisi desa yang sudah diberikan kewenangan secara otonom untuk membangun wilayahnya sendiri melalui dana desa, dituntut untuk menyelesaikan problem rumah tangganya sendiri. Jika memang kekeringan yang melanda merupakan efek dari curah hujan yang minim serta sulitnya memperoleh air dari sumur galian, maka desa sebaiknya menggunakan dana tersebut untuk membangun waduk penampungan air serta saluran irigasi untuk pengairan. Hal semacam inilah yang ditegaskan oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dalam kunjungan kerjanya di Bondowoso sekaligus membuka hari jadi kota tersebut, terkait musibah kekeringan yang tengah terjadi. "Dana tersebut intinya buat pembangunan desa. Tetapi melihat musim kemarau seperti ini, ada baiknya pemerintah daerah bisa menggunakan anggaran tersebut untuk pengadaan pengairan di lahan pertanian pedesaan," ujarnya di Bondowoso, Jawa Timur, Kamis (6/8). (Baca: Menteri Marwan Ja'far: Alokasi Dana Desa Untuk Bangun Irigasi)

Dampak kekeringan jika dilihat, bukan saja masalah bisa minum atau tidak, bisa mencuci atau tidak, tapi lebih dari itu, pasokan pangan akan semakin menipis. Jika air yang dibutuhkan untuk sektor pertanian tidak dapat terpenuhi, maka panen para petani tidak akan maksimal, bahkan cenderung gagal. Ketika stok pangan mulai menipis, harga-harga kebutuhan pokok di pasaran secara otomatis akan melonjak tajam, karena permintaan yang lebih besar dari persediaan. Dengan harga kebutuhan pokok yang mahal, bukan tidak mungkin akan menyebabkan kelaparan di masyarakat lapisan bawah, dikarenakan tidak mampu membeli makanan dan kebutuhan pokok lainnya. (Infrastruktur Air Desa Bisa Atasi Krisis)

Jika saja kita selaku masyarakat yang tahu dan sadar akan kondisi yang sedang melanda bangsa ini dapat bekerja sama denga berbagai pihak, yang terlibat dalam mengatasi masalah kekeringan, maka tidak akan ada lagi warga atau pun sanak saudara kita yang menderita karena kesulitan mendapatkan air. Bayangkan, berapa ratus liter air yang kita butuhkan setiap harinya, baik untuk minum, mandi, mencuci, dan lain sebagainya. Jika air tidak ada, alternatif apa lagi yang dapat kita lakukan? Wassalam (MA)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun