Maraknya aksi terorisme belakangan ini, tekanan untuk memperkuat keamanan dalam negeri menjadi tuntutan publik. Masyarakat mendambakan suatu tatanan sosial yang stabil, aman dan damai.
Sejauh ini, pemerintahan Presiden Jokowi merespon positif tuntutan tersebut. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mencegah dan pengusutan kasus terorisme.
Namun, untuk menangani kasus terorisme itu diperlukan suatu payung hukum yang bisa menjadi pegangan bersama. Problemnya, pembahasan revisi UU Anti-Terorisme telah mandeg selama dua tahun terakhir.
Lucunya, seretnya pembahasan UU Anti-Terorisme itu bukan berasal dari tantangan eksternal. Namun lebih banyak disebabkan oleh tarikan kepentingan di internal DPR RI itu sendiri.
Entah kepentingan politik apa yang sedang dimainkan, namun faktanya beberapa fraksi di DPR RI hingga kini selalu bertele-tele dalam membahas definisi terorisme.
Besarnya tantangan dan halangan pembahasan UU Anti-Terorisme itu tak mengherankan, karena banyak politikus yang terkesan menahan lolosnya peraturan perundang-undangan itu.
Hal itu tercermin dari pernyataan Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Anti-Terorisme, Mohammad Syafii sendiri. Dia dengan sengaja justru menyebut bahwa, "teroris adalah pahlawan dan polisi adalah teroris sebenarnya."
Hal itu terkuak saat Mantan Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), Ansyaad Mbai, membongkar kasus tersebut pada diskusi ILC di TV One beberapa waktu lalu. Ia pesimis RUU Anti-Terorisme akan selesai karena ada anggota DPR yang mengatakan pernyataan tersebut.
Sebagai wakil rakyat, legislator dari Partai Gerindra itu sungguh kontradiktif. Pasalnya, dia yang berasal dari partai nasionalis, namun faktanya justru bersimpati terhadap terorisme.
Di tengah situasi darurat terorisme saat ini, bila ada politisi dan partai yang melindungi tindakan teror, maka mereka itulah teroris yang sebenarnya. Karena mereka yang telah membuka lebar pintu terorisme itu sendiri.
Mereka adalah para politisi dan anggota parlemen yang terus bermanuver dalam menghambat pemberantasan terorisme di Indonesia.