Menjelang penyelenggaraan Pilkada serentak, perang informasi semakin masif di media sosial. Berbagai fitnah, informasi hoax dan ujaran kebencian disebarkan untuk menjatuhkan para lawan.
Tak jarang informasi sesat yang sudah lawas pun kadang direproduksi ulang agar bisa digunakan kembali untuk menyudutkan lawan.
Seperti fitnah yang belakangan tersebar di media sosial mengenai pendapat politisi PDIP tentang isu adzan dan pengajian di Masjid. Kali ini Eva K Sundari yang menjadi sasaran tembaknya.
Disebutkan oleh media abal-abal, temp0-inf0.blogspot.co.id, Eva K Sundari berpendapat jika suara adzan sebaiknya dihilangkan saja. Ia juga disebut oleh portal berita itu agar menyembunyikan suara pengajian dari speaker Masjid.
Pendapat itu menurut penulis berita tersebut sangat wajar karena PDIP memang sarangnya anggota PKI. Karenanya, kelakuan partai itu mengikuti gaya partai komunis yang anti terhadap agama.
Atas berbagai pemeriksaan, dapat dipastikan bahwa berita dari portal abal-abal tersebut merupakan informasi hoax. Hal tersebut dijadikan fitnah untuk mendiskreditkan PDIP dan Presiden Jokowi.
Hal itu tentu saja berkaitan dengan upaya menggoyang elektabilitasnya agar jatuh dalam Pilkada dan Pemilu mendatang.
Kehadiran situs berita seperti temp0-inf0.blogspot.co.id di atas pada dasarnya yang merusak kualitas demokrasi di Indonesia. Mereka kerap menyebarkan fitnah dan informasi hoax untuk kepentingan politik tertentu, tanpa memperhatikan dampak negatifnya. Seperti tersebarnya kebencian, terbelahnya masyarakat atau rusaknya persatuan dan kesatuan masyarakat.
Soal isu adzan, Wakil Presiden Jusif Kalla sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia pernah menyebutkan bahwa penggunaan speaker masjid untuk adzan dan pengajian sedikit berbeda. Untuk adzan, memang dibolehkan secara keras karena itu memang bagian dari syiar Islam, sekaligus panggilan untuk beribadah bagi umat Islam. Hanya waktunya saja perlu diatur supaya tidak mengganggu umat beragama lain.
Namun soal pengajian, JK mengatakan agar tidak memakai kaset, namun sebaiknya suara orang secara langsung. Selain itu, juga volumenya agar disesuaikan agar tidak terlalu keras yang bisa mengganggu ketentraman warga.
Terkait hal itu sebenarnya sudah diatur jauh-jauh hari oleh Kementerian Agama dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimas 101/1978. Sejak saat itu, tidak ada yang mempermasalahkan. Baru kali ini saja ada yang menggunakan isu tersebut untuk mengobarkan kebencian dan membakar emosi umat Islam.