Mohon tunggu...
Fras An
Fras An Mohon Tunggu... Freelancer - Rough Sea Makes A Good Captain

Lone wolf

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Dari Akademik ke Eksploitasi: Kampus dan Disorientasi Pendidikan

30 Januari 2025   10:58 Diperbarui: 30 Januari 2025   10:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : dokumen pribadi

Wacana perguruan tinggi diberi izin untuk mengelola tambang kembali mencuat setelah sejumlah pihak, termasuk akademisi dan pemerintah, menyuarakan dukungannya. Ide ini diklaim sebagai upaya untuk mendorong kampus menjadi lebih mandiri secara finansial, sejalan dengan konsep otonomi kampus yang dianut dalam sistem Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) bahkan menyambut baik usulan ini sebagai bentuk optimalisasi peran akademisi dalam pengelolaan sumber daya alam (Kompas.com, 24 Januari 2025). Namun, banyak pihak menilai bahwa usulan ini merupakan bentuk disorientasi pendidikan yang semakin menjauhkan kampus dari tujuan utama mencetak generasi berilmu dan berakhlak.

Langkah ini tidak hanya menunjukkan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia semakin dikapitalisasi, tetapi juga memperlihatkan disfungsi negara dalam mengelola kekayaan publik. Seharusnya, negara bertanggung jawab penuh terhadap pemenuhan akses pendidikan tinggi bagi seluruh rakyat dan pengelolaan tambang sebagai harta milik umum. Namun, dengan skema ini, kampus justru diarahkan menjadi institusi bisnis yang mengejar keuntungan materi daripada menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang berkontribusi untuk kemaslahatan umat.

Kapitalisasi pendidikan telah lama menjadi masalah di sistem sekuler-kapitalisme. Pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara, kini bergeser menjadi komoditas yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayar. Sistem PTN-BH semakin mendorong perguruan tinggi mencari sumber pendapatan alternatif, dan pengelolaan tambang adalah bentuk konkret dari upaya itu. DPR bahkan memberikan peluang bagi kampus untuk mengelola tambang, meski sejumlah pakar memperingatkan risiko besar di balik kebijakan ini (Kompas.com, 25 Januari 2025). Perguruan tinggi yang harusnya berfokus pada pendidikan dan riset kini didorong untuk mengelola industri ekstraktif yang memiliki dampak lingkungan dan sosial yang kompleks.

Realitas ini mempertegas bahwa negara semakin melepas tanggung jawabnya dalam mengelola sumber daya alam dan membiayai pendidikan rakyat. Dalam sistem kapitalisme, beban pendidikan ditanggung oleh individu atau keluarga, sehingga biaya pendidikan semakin mahal dan sulit dijangkau oleh mahasiswa dari keluarga kurang mampu. Hal ini menutup peluang generasi miskin untuk mendapatkan akses ke pendidikan tinggi, sekaligus menjadikan kampus lebih berorientasi pada keuntungan daripada pengembangan akademik dan karakter mahasiswa.

Islam menawarkan solusi yang lebih adil dan menyeluruh dalam pengelolaan pendidikan dan sumber daya alam. Dalam Islam, kampus tidak boleh dijadikan alat untuk mencari keuntungan materi, tetapi harus menjadi lembaga yang mencetak generasi unggulan dengan ilmu dan karakter yang kuat. Pendidikan tinggi dalam Islam sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara, yang dananya diambil dari kas kepemilikan umum, termasuk hasil pengelolaan tambang. Dengan demikian, seluruh rakyat memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan tanpa terkendala biaya.

Sejarah Islam menunjukkan bahwa pendidikan selalu menjadi prioritas utama negara. Rasulullah SAW sendiri memastikan bahwa ilmu berkembang dengan baik di Madinah, salah satunya dengan membebaskan tawanan Perang Badar yang bersedia mengajarkan baca-tulis kepada kaum Muslimin. Pada masa Kekhilafahan, pendidikan tidak hanya menjadi hak istimewa kaum elite, tetapi dijamin untuk semua rakyat. Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma'mun, misalnya, mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad, yang menjadi pusat keilmuan dunia. Para ilmuwan dari berbagai bidang seperti kedokteran, astronomi, matematika, hingga filsafat berkumpul di sana untuk mengembangkan ilmu, bukan untuk mengejar keuntungan finansial.

Islam juga memiliki aturan yang jelas mengenai pengelolaan sumber daya alam. Tambang adalah harta milik umum yang tidak boleh dimiliki atau dikelola oleh individu, apalagi kampus atau swasta. Rasulullah SAW bersabda, "Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api" (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Hadis ini menunjukkan bahwa sumber daya alam yang strategis harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, tambang di Bahrain dan kawasan lain tetap berada di bawah kontrol negara, dan hasilnya didistribusikan untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini bertolak belakang dengan sistem kapitalisme saat ini yang menyerahkan sumber daya alam kepada pihak swasta, bahkan kini berencana melibatkan kampus dalam eksploitasi tambang.

Dalam sistem Islam, hasil dari pengelolaan tambang tidak dijadikan alat komersial, melainkan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk layanan publik, termasuk pendidikan yang berkualitas dan gratis. Negara Islam bertanggung jawab untuk memastikan pendidikan dapat diakses oleh seluruh rakyat tanpa diskriminasi ekonomi. Pendidikan dalam Islam tidak hanya berorientasi pada keilmuan akademik, tetapi juga pembentukan kepribadian Islam yang kokoh. Kampus dalam Islam akan menjadi tempat yang melahirkan generasi cerdas dan berakhlak, bukan institusi bisnis yang mengelola tambang demi keseimbangan anggaran. Dengan sistem Islam, pendidikan dapat kembali kepada tujuan sejatinya, yaitu mencerdaskan umat dan membangun peradaban berbasis ilmu dan nilai-nilai syariat.

Usulan kampus mengelola tambang semakin memperjelas bahwa sistem pendidikan sekuler telah melenceng jauh dari fungsinya. Kapitalisasi pendidikan tidak hanya menjadikan kampus sebagai lembaga yang mencari keuntungan, tetapi juga mencerminkan kegagalan negara dalam mengelola kekayaan publik untuk kepentingan rakyat. Islam menawarkan solusi yang lebih adil dan berkelanjutan dengan menjadikan pendidikan sebagai tanggung jawab negara dan memastikan bahwa sumber daya alam dikelola untuk kesejahteraan umat, bukan untuk kepentingan segelintir pihak. Sejarah telah membuktikan bahwa ketika Islam diterapkan secara kaffah, pendidikan menjadi pilar utama kemajuan, sementara pengelolaan sumber daya alam tetap berada di tangan negara untuk kepentingan umat. Sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam kaffah yang mampu menjaga keseimbangan antara pendidikan, ekonomi, dan kemaslahatan umat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun