Revolusi pemikiran yang yang dikenal sebagai tata bahasa “transformasional” atau “generatif” bertujuan untuk memberikan pengetahuanyang formal mengenai bahasa seorang penutur sebagai perangkat kaidah-kaidah logis dan eksplisit. Karena adanya gerakan ini maka muncul kesenjangan antara antropologi dan kajian budaya.
Pertama, bahasa yang digumuli oleh para pakar teori bahasa adalah bahasa-bahasa Eropa (terutama bahasa Inggris, Jerman, dan Rusia). Salah satu asumsi dasar mereka adalahsebagai system formal, semua bahasa adalah, dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan di permukaan, relative punya banyak kesamaandan karena intuisi seorang penutur merupakan unsure penting dalam menguji kaidah-kaidah bahasa adalah sudah cukup untuk dijadikan sasaran analisis bagi para pakar bahasa.
Kedua, kompleksitas kaedah-kaedah formal bahasa membuat linguistic sulit untuk dipahami olehkebanyakan pakar antropologi. Mungkin jika bahasa dikeluarkan dari konteks sosial dan budaya akan menarik para pakar antropologi untuk digumuli dalam penelitian mereka.
Para pakar antropologi dan dan pakar bahasa yang mengkaji manfaat dari bahasa, akan berurusan dengan bagaimana pertalian antara pengetahuan tentang dunia dan sususnan bahasa terjadi, bagaimana bahasa dugunakan untuk mengungkapkan rasa hormat dan akrab. Para pakar bahasa akan lebih focus kepada kalimatnya dibandingkan dengan siapa yang bertutur, tentang apa dan pada siapa,dan bagaimana makna disampaikan dalam situasi sosial.
Para pakar bahasa berharap bahwa tugas yang mereka tanganijauh dari kajian adat kebiasaan dan kepercayaan asing yang digumuli oleh para pakar antropolgi, dengan mendirikan dinding pemisah konseptual antara pengetahuan bahasa dan pengetahuan budaya. Hali ini membuat kajian bahasa menjadi lebih sulit, ttapi juga tetap membawa antropologo dan linguistic berdampingan kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H