[caption id="attachment_227514" align="alignright" width="298" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Negeri ini lucu. Semua rakyatnya ingin Indonesia berubah. Pemerintahan lebih baik. Rakyat yang makmur. Birokrasi yang bersih. Tapi orang-orang dari tingkatan yang paling kecil pun enggan untuk berbenah, enggan untuk merubah diri sendiri. Kebetulan hari ini aku pergi ke Cilegon, mau ngurus surat numpang nikah di sana. Syarat yang harus dipenuhi antara lain fotocopy KTP, fotocopy KK, pas foto 3x4 berwarna 2 lembar dan ijazah terakhir. Semua sudah dilengkapi, hanya persyaratan birokrasi yang harus dilalui; yaitu dari ketua RT, RW, Kelurahan, hingga ke KUA setempat. First, dari semua syarat yang telah dibawa di atas, kita harus bikin surat pengantar dulu ke ketua RT, untuk kemudian dimintakan cap ke RW dan surat pengantar di kelurahan agar dapat diproses di KUA. Nah, yang kedua adalah masalah biaya. Dari berita yang kami dengar, untuk melalui semua proses itu, dibutuhkan sekitar 300 ribu rupiah untuk mengurus masalah administrasi. Bahkan atas keterangan ibu-ibu yang kami temui di KUA, beliau mengatakan prosesnya bisa memakan sejumlah 350 rupiah sendiri. Sensitivitas masalah administrasi bagi kami ini cukup membuat gerah, mengingat ini adalah bulan puasa dan sangat susah untuk bisa menahan emosi bagi kami (terutama si calon). Untuk itulah kami sudah mempersiapkan berbagai jawaban agar bisa menghindar dari kejaran administrasi tersebut. Di sinilah ujian benar-benar terjadi. Di tingkat kelurahan, kami ditodong 50.000. Kami bukannya shock, cuma ternyata aku yang belum siap mental ketika mengetahui ada orang yang secara terang-terangan meminta uang dalam urusan seperti ini. Jujur itu bukanlah sebuah jumlah yang besar buat kami, bukannya sombong. Namun caranya meminta dengan mengatasnamakan musyawarah agar diterima kelazimannya dan kewajarannya, bahwa hal tersebut sudah lumrah di sini, bukanlah hal yang bisa diterima secara lumrah oleh kami. Apalagi ketika kami menjawab bahwa kami bersedia membayar jika ada kuitansi, dan bapaknya cuma bilang, "Ngga ada lah.." Dengan berat hati akhirnya keluarlah 15ribu dari kantong, satu-satunya alasan adalah karena berkas kami ditahan di kelurahan dan tampaknya tidak ada indikasi akan diloloskan di hari itu juga jika ngga ada pelicinnya. Dengan muka setengah tidak ikhlas kami meninggalkan kantor yang bercat kuning itu untuk menuju ke KUA. Entah bagaimana reaksi bapak-bapak terhormat di dalam sana karena uang administrasinya jauh sesuai harapan. Sesampainya di KUA, kembali lagi permintaan untuk membayar uang syarat ada lagi. Kali ini tidak secara jelas menyebut nominal berapa. Namun bisa dibayangkan jika ibu-ibu di sebelah saya bisa habis 350ribu untuk selesai di KUA, maka berapa kira-kira jumlah rupiah yang harus dikeluarkan untuk tahap akhir ini. Nominal tidak disebut, maka si calon mengelurakan jurusnya (lagi). "Boleh minta kuitansi bu?", tanya si calon halus. "Oh, ngga ada kuitansinya mas. Untuk administrasi aja kok" "Wah, kalau ngga ada kuitansinya gimana saya pertanggungjawabannya bu. Saya aja untuk ngurus ini harus izin dulu dari pemeriksaan. Nanti kalau diminta bukti pembayarannya bagaimana bu?" jawab si calon lagi. "Oh, gitu *panik*. Iya sudah ngga apa-apa, di bawa aja langsung mas." Dan sukseslah kami hari itu mengurus surat menumpang nikah dengan total biaya yang dikeluarkan = 15.000 untuk pegawai kelurahan, dan 15.000 untuk membeli oleh-oleh untuk pak ketua RT. Jumlah total 30.000 Aku ingin menegaskan bahwa dalam urusan uang, kami bukanlah tergolong orang yang pelit, yang enggan mengeluarkan uang untuk membantu orang lain. Namun di sini konteks membantunya seperti apa? Kami ngga akan segan membantu pengemis atau pengamen yang terlihat kelaparan di jalan dan belum buka puasa. Maaf bukannya sombong. Poinnya adalah, siapa yang pantas ditolong disini?. Terus terang kami ngga rela uang kami dipergunakan untuk melicinkan hal-hal yang seharusnya sudah licin namun dibuat seret-seret itu. Toh mereka digaji untuk menjadi pelayan masyarakat. Kami juga bukannya sok suci, kami juga sering melakukan kesalahan yang bahkan mungkin kami lakukan secara sadar. Dan bahkan instansi tempat si calon bekerja dan aku (akan) bekerja pun dicaci di sana sini karena ketidakbersihannya. Maka dari itulah, kami ingin memulai dari diri sendiri. Bahwa sesuatu yang dianggap biasa itu belum tentu benar. Seperti kata aa gym, mulai dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, mulai dari sekarang. Menurut laporan dari BPKP tahun 2002 saja, 3 departemen terkorup adalah Departemen Agama, Departemen Pendidikan, dan Departemen Kesehatan. Ketiga departemen (sekarang kementerian) ini menurutku adalah tiga instansi yang memiliki peras paling sentral bagi Indonesia. Pendidikan, moral dan kesehatan rakyat. Lah, kalau pengurusnya saja sudah korup, bagaimana bisa becus mengurusi masalah rakyatnya?. Nah sekarang, kalau dari tingkat ecek-ecek saja sudah banyak pelicin di sana-sini, bagaimana permainan kelas kakap di luar sana? Secara logika, pastinya permainan sudah bukan memakai kata ribuan lagi, atau sudah tidak mengenal istilah administrasi lagi. Semua sudah dianggap LUMRAH. Maka dari itu, pantas lah kalau negeri ini aku bilang lucu. Di sana sini ingin negara ini menjadi lebih baik, tapi tak pernah melihat kepada diri sendiri dulu apakah sudah melakukan hal yang baik. Di ulang tahunnya yang ke 65 ini, aku berdoa semoga Indonesia segera diberi pemimpin yang mampu memegang amanah bangsa, yang benar-benar mampu membersihkan tikus-tikus got dari kelas kakap hingga kelas teri, dan yang terutama mau memperbaiki dirinya sendiri dulu. Seperti kata dosenku, "Biasakanlah yang benar, jangan membenarkan yang biasa". Cheers! (seperti yang telah diposting di blog saya http://sapidudunk.blogspot.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H