Mohon tunggu...
ana rustanti
ana rustanti Mohon Tunggu... -

seorang perempuan yang tengah mencari

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Garis Perempuan

31 Maret 2010   07:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:05 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul : Garis Perempuan

Pengarang : Sanie B. Kuncoro Penerbit : Penerbit Bentang Tebal : x + 378 hal Cetakan : Pertama, Januari, 2010 Ceritanya buku ini aku lihat resensinya di Goodreads Indonesia , dan kemudian ketika jalan-jalan di Gunung Agung atrium senen, kubeli deh buku ini. Sebuah buku yang menceritakan kisah dari 4 orang perempuan : Ranting, Gendhing, Tawangsri, dan Zhang Mey. Sejak kecil mereka berempat telah menjadi sahabat serangkai yang menjalani aktivitas bersama. Namun jalan takdir membawa masing-masing pribadi ke arah jalan nasib yang berbeda. Buku ini dibagi menjadi 3 bagian; selasar awal, tengah dan akhir. Di bagian tengah sendiri dibagi menjadi 4 segmen yang menceritakan masing masing tokoh secara terpisah. Kalau diibaratkan film, buku ini mencoba trik yang sama dengan Film "LOVE ACTUALLY", "VALENTINE'S DAY", atau film Indonesia "LOVE", karena masing-masing tokoh memiliki ikatan dan hubungan, meskipun dalam bentuk yang masih sederhana :sahabat. Sesuai dengan judulnya, buku ini mencoba mengetengahkan isu yang kini sedang marak diperjuangkan kaum perempuan yaitu persamaan derajat dan emansipasi wanita. Bisa dibilang, buku ini dapat menjadi alat kaum feminis untuk menunjukkan bahwa ada banyak kenyataan sosial yang terpendam di masyarakat, bahwa banyak perempuan yang merasa terpinggirkan dan terhimpit secara sosial karena statusnya sebagai PEREMPUAN. Seperti kisah Ranting, akibat kemiskinan, dirinya rela dijadikan istri ketiga seorang pengusaha dengan jaminan uang untuk melunasi biaya operasi tumor ibunya. Bagi Ranting, tubuhnya hanya dia jadikan sebagai alat pertukaran, tidak lebih dari itu. Senasib dengan Ranting, Gendhing yang juga dililit kemiskinan juga berniat untuk menjual keperawanannya agar dapat menebus utang puluhan juta dari orangtuanya. Status mereka sebagai perempuan menjadikan mereka yang seharusnya bebas menggunakan dirinya, harus terjebak pada transaksi tubuh demi kemerdekaan ekonomi, namun tidak kemerdekaan jiwanya. Di akhir cerita, akhirnya mereka berontak terhadap belenggu yang telah kemiskinan ciptakan untuk mereka. Lain dengan kisah Zhang Mey, yang mencintai orang pribumi, bukan keturunan Tiong Hoa seperti dirinya. penolakan pun tidak dapat terhindarkan timbul dari keluarga Zhang Mey,. Karena himpitan tradisi ini, Zhang Mey memutuskan untuk memberikan "yang berharga" miliknya pada sang kekasih. Kisah Tawangsri sendiri merupakan kisah favoritku, dimana dia mencintai seorang duda yang masih menyimpan kenangan tentang almarhum istrinya. Tawangsri yang memiliki kebebasan pilihan untuk memberikan keperawanannya pada seseorang yang dia kehendaki akhirnya memilih duda tersebut, meskipun ternyata di akhir kisah Tawangsri meninggalkannya. Membaca buku ini seperti membaca 4 buah cerpen. Isi cerita yang singkat, akhir yang menggantung, dan konflik yang menurut saya sederhana. Hanya karena bunga-bunga bahasa di sana-sini akhirnyalah menjadi sebuah novel yang cukup tebal. Karena menggunakan bahasa yang lumayan berat, novel ini jadi semacam cerita serius yang harus mengernyit sepanjang buku. Namun jangan khawatir, justru karena konflik yang sederhana dan alur yang mudah diikuti, membaca buku ini malah menjadi mudah dan mengalir hingga halaman terakhir. Buku ini bagus untuk referensi pergolakan hidup perempuan Indonesia, yang banyak terbentur masalah poligami, tradisi, nilai sebuah keperawanan, dan pilihan hidup. Kisah masing-masing tokoh juga menghadirkan kenangan-kenangan tersendiri bagi saya pribadi. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari sana, salah satu favorit saya adalah pernyataan Ayah Zhang Mey ketika beliau mengetahui hubungan putrinya dengan pribumi :
" Ini sesuatu yang sudah kau tahu sejak awal dan sudah terduga akan berakhir seperti ini. Bahwa kau tetap memilih untuk menjalaninya, itu lebih sebagai keinginan gelora hatimu yang tak terhindarkan. Seperti memainkan suatu permainan, kau tidak selalu bisa memenanginya dan ada saatnya permainan itu akan selesai. Bagimu, inilah saatnya."

Selamat membaca!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun