[caption id="" align="aligncenter" width="197" caption="ilustrasi:flickr.com"][/caption]
"Kalau sering terjadi, apakah masih pantas disebut bencana?"
Kalimat di atas aku lupa pernah kutemui dimana, yang pasti, artikel itu membahas tentang banjir. Ya, 'bencana' yang tiap tahun hampir menghampiri kota Metropolitan ini. Aku sendiri selama 3 tahun di (pinggiran) Jakarta belum pernah dan tidak berharap mengalami banjir. Aku cuma ngga bisa bayangin aja gimana rasanya harus menyelamatkan barang-barang, belum entar pasti ada juga barang-barang yang hanyut. Saat banjir juga ngga bisa jalan dengan tenang (ngga bisa ngebedain mana jalan mana selokan). Trus habis banjir, pasti harus bersih-bersih, dan bau air yang meresap di tembok pasti ngga bisa hilang hanya dalam hitungan minggu. Duh! Dan kejadian ini udah hampir tiap tahun"langganan" terjadi, biasanya terjadi di daerah-daerah yang deket dengan sungai, atau daerah yang dulunya wilayah resapan air namun diubah peruntukannya menjadi pemukiman. Berita-berita akan penuh dengan liputan banjir, dan akan banyak testimoni maupun permintaan dari berbagai pihak yang meminta pemerintah untuk segera menemukan jalan keluar masalah banjir-banjir ini. Memang, pemerintah tentu harus bertanggung jawab atas rakyatnya yang tengah mengalami "bencana" tahunan. Selain karena pemerintah sebagai pemegang regulasi, juga karena pemerintah kan sebagai pemimpin negeri ini, wajib dan bertanggung jawab atas apa yang terjadi di masyarakatnya. Tapi bener ngga sih kalau masalah banjir ini harus ditangani pemerintah semua? Ayo dianalisis :
Jumlah penduduk Jakarta tahun 2009 adalah 8.523.157 jiwa (Sumber : Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi), dan seandainya jumlah seluruh penduduk Indonesia sekitar 231 juta jiwa, maka penduduk Jakarta (belum termasuk Tangerang, bekasi, depok dan bogor ya) berjumlah 3% dari total penduduk Indonesia. Kepadatannya saja mencapai 13.042 jiwa per km2. Jumlah sebanyak itu harusnya menghuni pulau sebesar sulawesi mungkin ya, tapi semuanya tumplek bleg di jakarta dan sektarnya. Dengan jumlah sebanyak itu, tentu kebutuhan ruang untuk aktivitas sangat tinggi. Perkantoran, pemukiman, perindustrian, dan perdagangan menjadi prioritas utama, apalagi dengan banyaknya developer yang sekarang makin sibuk dan gencar membangun unit-unit apartemen demi keuntungan. Kayanya udah pada lupa kalau kota ini juga butuh ruang terbuka hijau (RTH). Harusnya, dalam perda pun pasti sudah ada peraturan berapa persen minimal RTH yang harus tersedia dalam sebuah kota, khususnya DKI Jakarta, namun tentu saja, peraturan di Indonesia ada kan untuk dilanggar, apalagi kalau sudah ketemu dengan uang. Minimnya RTH diperparah lagi dengan minimnya daerah resapan air. Orang membangun rumah yang dipikirkan pasti keindahan dan nilai estetikanya, apalagi sekarang sedang tren model minimalis, tidak akan ada tempat untuk tanah terbuka. Daerah resapan air yang sudah disediakan khusus pun terancam tergusur oleh perumahan dan perkantoran. Hal ini belum ditambah dengan kebiasaan masyarakat yang belum sadar akan sampah. Kebiasaan buang sampah di sungai masih banyak ditemukan, kebiasaan buang sampah diluar tempat sampah juga masih banyak dilakukan. Upaya untuk mengurangi sampah plastik juga rasanya tidak ada gaungnya. Tambah banyak iya, berkurang engga sama sekali.
Pertanyaannya sekarang, dengan begitu banyaknya penyebab banjir yang muncul, apakah masalah banjir masih tanggung jawab pemerintah? Jawabannya iya, pasti, namun masyarakat hendaknya sadar, bahwa mereka juga menyumbang banyak hal penyebab banjir, terutama masalah sampah. Kemudian, apa yang mesti dilakukan? 1. Mulai dari diri sendiri, apakah kita sudah membuang sampah di tempat sampah? Jika memang ada pembagian tong sampah kering dan sampah basah, sudahkah memasukkan sampah sesuai kategori? 2. Mulailah membawa kantong saat berbelanja, beli makan, atau beli hal-hal kecil biasakan tidak perlu meminta kantung plastik. Kalaupun memang butuh, usahakan seminimal mungkin menggunakannya. 3. Perlu peraturan yang tegas bagi warga yang masih membuang sampah di sungai, atau kalau perlu sanksi tegas bagi pelanggar yang membuang sampah di sembarang tempat. Dan peraturan ini perlu dilakukan dengan kesadaran penuh dari warga. 4. Membangun pabrik pengolahan sampah yang berteknologi tinggi dan berskala besar, sehingga mampu mengolah sampah menjadi barang daur ulang dan mampu menampung sampah dalam jumlah besar, seperti yang sudah banyak dilakukan di luuar negeri. 5. Mencontoh kebiasaan negeri Jepang, yang sangat tertib dalam jadwal pembuangan sampah berikut jenis sampah yang harus dipisah. Dengan cara demikian, masyarakat akan lebih aware dan peduli dengan sampah. 6. Mulai menanam pohon dan tanaman hijau di sekitar rumah. Sebenernya masih banyak solusi yang sekiranya bisa dilakukan, namun yang paling penting adalah mulai dari diri sendiri dulu. Bagi orang tua juga sebaiknya mengajarkan pada anak sejak dini untuk membuang sampah di tempatnya. Sebenernya, sudah banyak aktivis peduli sampah di negeri ini, seperti http://www.pedulisampah.org/ dan http://greenpressnetwork.blogspot.com. Banyak juga kisah dari para pahlawan masyarakat yang secara swadaya memperjuangakan kelestarian lingkungan, seperti kisah Yuyun Ismawati yang mendapat penghargaan majalah Time sebagai Heroes of Environtment 2009. Jadi, kapan giliranmu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H