Menantikan liburan atau cuti panjang bagi setiap orang adalah hal yang sangat ditunggu, moment mudik lebaran sebagian orang memanfaatkannya cukup lama, bukan untuk sekedar silahturahmi bersama keluarga ataupun bukan untuk sekedar jalan-jalan biasa, melepas penat dari pekerjaan yang menumpuk dan terkadang membuat otak kecil tidak bisa berpikir lagi. Bagi pekerja kelas akar rumput seperti kami berdua, menjadikan suatu perjalanan liburan sebagai moment perjalanan yang tidak sia-sia dan terbuang percuma begitu saja, sudah menjadi bagian luar dari pemikiran kami. Memaksimalkan waktu, tenaga, pikiran, untuk menikmati keindahan alam liar yang ternyata didaerah kita sendiri masih banyak tempat wisata yang sangat eksotik, patut untuk dinikmati, dijaga keberadaan serta kelestariannya. Tak ada tema untuk perjalanan kali ini, karena beberapa daratan Pulau Buton sudah kami jelajahi sebelumnya, dimana sebagian besar memberikan moment yang sangat indah untuk dikenang. Tiga Tahun tidak terasa berjalan dengan cepatnya, dua bulan sebelum si Tolang kembali ke Kampung Halaman, rencana sudah sangat matang untuk dijalankan, dengan kemungkinan keluar dari jalur trip setengah dari apa yang kami rencanakan. Si Tolang telah melakukan perjalanan jauh dari Kalimantan Timur (Balikpapan), Sulawesi Selatan (Makassar), Morowali, Soroako, Kolaka Utara kemudian ke Luwuk, Bungku, Sulawesi Tengah, lanjut ke Sulawesi Tenggara (Kendari) dan tidak lupa menyempatkan diri untuk bertandang di Kota Raha, Kabupaten Muna.
Menunggu kedatangan si Tolang ke Kota Baubau kali ini cukup membuat penasaran, sedikit agak ragu dengan kehadirannya karena menunggu agak lama diareal Pelabuhan Murhum, kapal cepat yang masuk agak terlambat dari biasanya, beberapa saat kapal bersandar dan tiba-tiba muncul dengan setelan kemeja kotak-kotak, dalaman kaos unik, tas kulit kayu, sepatu aneh dan tidak lupa ransel yang lumayan besar untuk dibawa. Tidak ada perubahan yang begitu banyak dari seorang sahabat, masih dengan senyum sumringah, salam sapa damai sentosa. Banyak cerita selama perjalanan dari Pelabuhan Murhum sampai rumah, mengingat kisah adventure tiga tahun yang lalu. Terkadang harus menahan senyum dan tawa, seorang sahabat sedang menikmati aroma liburan kebebasan dari rimbunnya akar pepohonan sawit, sedikit mengobati penat dan peluh si Tolang salah satu penghuni hutan hujan tropis borneo telah jauh melakukan perjalanan, akhirnya tiba di Kota Baubau tercinta yang semakin semerbak dan tampil mempesona dengan selamat.
Selanjutnya si Tolang melakukan perjalanan liburan berikutnya di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, Indonesia, kota kecil ramai dan apik, dikenal dengan Kota Pemilik Situs Benteng Terluas di Dunia (Benteng Keraton Wolio), daerah kampung halaman kami. Salah satu tujuan kami adalah menjelajahi daerah Buton Bagian Tengah, tepatnya didaerah Mawasangka Timur yang merupakan salah satu Kecamatan dalam cakupan wilayah Kabupaten Buton. Ada beberapa alternatif untuk menuju tempat ini, yaitu melalui speed boat atau kapal feri. Jalur yang kami ambil adalah melalui kapal feri dengan menggunakan kendaraan bermotor, uji adrenalin dengan motor sangatlah baik untuk perjalanan adventure, mengingat banyak jalan didaerah ini yang tidak begitu mulus dan rata untuk dilalui. Rute perjalanan kapal feri dengan trip pertama dari Pelabuhan Batulo (Baubau) menuju Pelabuhan Wamengkoli (Waara) dimulai pukul 06.30 pagi, lama penyeberangan kurang lebih 25-35 menit diantara Selat Buton. Perjalanan dilanjutkan kurang lebih 65 Kilometer dari Wamengkoli (Waara) menuju Mawasangka Timur. Silaturahmi keluarga masih sangat kami utamakan, karena moment lebaran bersamaan dengan liburan kali ini. Teman saya si Tolang ini mempunyai keluarga besar di daerah Kecamatan Lakudo, bisa mampir dan sekalian beristrahat dari jalanan berlubang, penuh debu yang pekat dan cukup panas. Jam 12 siang kami menuju ke Mawasangka Timur, daerah yang dituju adalah Desa Wantopi, terletak dalam Teluk Lasori, tetapi sebelumnya kami menyempatkan untuk singgah didaerah Lombe Kecamatan Gu, berhubung didaerah ini terdapat Mesin ATM untuk melakukan transaksi sekalian berkunjung dan bersilaturahmi dengan keluarga si Tolang. Sepanjang perjalanan dari Lombe menuju Mawasangka kami disuguhkan dengan pemandangan karst dan hutan rimbun. Dalam perjalanan kita juga akan menikmati beberapa objek wisata seperti Permandian Kampolele (Desa Mone Kec. Lakudo) dan perjalanan pada bibir pantai Desa Mone-Lolibu, Jembatan panjang Desa Batu Banawa yang sangat memanjakan mata dan Permandian Goa Oe Maamba di Teluk Lasori. Pantai dalam teluk yang dikelilingi air laut, dengan jalur jembatan kecil diatasnya. Hamparan pasir putih dan pohon kelapa diatas pulau kecil tak berpenghuni ini, hanya ada rumah petani rumput laut, lapangan, mesjid tua yang sudah rusak dan dipenuhi rumput didalamnya, beberapa makam dan kapal karam didepannya. Sangat memanjakan mata.
Menikmati teriknya panas siang hari dihamparan Teluk Lasori, perjalanan kami lanjutkan menuju Mawasangka Induk yang berjarak kurang lebih 60-70 Kilometer dari Mawasangka Timur, ada jalur alternatif untuk bisa menuju Mawasangka Induk melalui Mawasangka Tengah. Yaitu melalui perahu katinting..tapi karena waktu sudah agak sore, tidak ada lagi perahu yang akan menyeberang, alternatif kedua adalah dengan memutar balik menyusuri kembali jalan masuk menuju ke Mawasangka Timur untuk menuju Mawasangka Tengah dengan jalur darat.. Jalanan didaerah ini banyak berlubang, jadi sangat disarankan untuk safety riding, baik pengguna kendaraan bermotor maupun mobil, selain itu terkadang hewan ternak berada dijalur jalan raya, harus menjaga kecepatan serta selalu fokus dalam berkendara. Dalam perjalanan kami melewati Goa Permandian Maobu, Pertigaan Mawasangka Tengah, Bukit Karst Lalibu, bekas areal Benteng Wasilomata dalam sejarah Kesultanan Buton dikenal sebagai benteng pertahanan (Matana Sorumba)., Kami tiba di daerah Mawasangka Induk pukul 04.20, dengan kecepatan rata-rata. Diperjalanan kami bertemu dengan Junior si Tolang yang bernama Djo, sedang cuti liburan dan merupakan warga asli Mawasangka Induk, kemudian kami diantar berkeliling menyusuri jalan-jalan kecil Mawasangka dan menyempatkan mencari beberapa makanan. Jalanan yang tidak rata sangat mengocok perut yang membuat kami berdua dehidrasi dan lumayan lapar. Menuju Pasar Bajo mencari beberapa makanan kuliner khas Mawasangka Induk.. sebagian orang mengenalnya dengan nama Bulu Babi, di Mawasangka Induk menyebutnya Tayo, dalam cangkang Tayo terdapat isi(telur)nya dari beberapa Bulu Babi dikumpul dalam satu cangkang Bulu Babi kemudian dibakar diatas api, membuat rasanya sangat luar biasa, bagi yang tidak pernah mencoba atau alergi dengan makanan seafood seperti Kepiting, Udang, atau Cumi-Cumi. Sangat disayangkan karena didaerah Mawasangka Induk dikenal sebagai daerah perikanan dengan hasil yang sangat berlimpah. Satu makanan khas yang kami jarang liat adalah Kasoami Hugu-Hugu, bahan dasar ubi yang sudah beberapa hari dijemur dan direndam sehingga mengeluarkan jamur hitam yang kemudian dipotong-potong agak halus lalu dikukus, yang disajikan dengan parutan kelapa muda. Sungguh menggoda dan sangat patut dicoba.
Menunggu sunset diseputaran Pelabuhan Feri Mawasangka Induk yang jaraknya tidak jauh sekitar 200-300 Meter dari bibir pantai, dengan sekantung Tayo (Bulu Babi), Kasoami Hugu-Hugu dan Peyek Ikan Teri, membuat sore itu menjadi sangat lengkap setelah melewati perjalanan jauh ditemani angin laut yang teduh memandang dari dekat Pantai Pasir Putih Mawasangka dengan hamparan pohon Pinus dan Kelapa, warga setempat menyebutnya Pantai Maliboro. Dari kejauhan Pulau Kabaena dengan belahan puncak tinggi Gunung Sabampolulu sedikit tertutup awan putih. Jadwal keberangkatan dan penyeberangan didalam areal Pelabuhan Feri hanya 3 kali dalam seminggu, maka sebagian warga setempat menjadikan areal Pelabuhan Feri ini sebagai tempat untuk berjalan-jalan dan menikmati sore hari saat matahari terbenam menyambut malam.
Persinggahan dirumah Djo sangat kami ancungi jempol, cerita ringan dengan keluarga Djo sambil membersihkan badan dari debu yang melekat dan menunggu santap makan malam sebelum kami beranjak dari Mawasangka. Menunya sangat memuaskan, beberapa telah kami pesan dan dibeli langsung Djo dari Pasar Bajo kemudian dimasak oleh adiknya, berupa Cumi-Cumi masak dan digoreng dengan minyak kelapa murni membuat aromanya luar biasa menggiurkan, Ikan bakar disantap dengan Colo-Colo (Sambal), Tiram (Tihe), Tayo (Bulu Babi), Kasoamibeserta Lapa-Lapa. Sungguh maknyosss dan berakhir dengan kata, Alhamdulillah..luar biasa nikmat hari ini..!!
Setelah makan malam, kemudian kami berpamitan dengan keluarga besar Djo, tidak lupa kami singgah kerumah keluarga si Tolang didesa sebelah dan kembali ke perjalanan pulang menuju Lakudo. Jarak tempuh kami kurang lebih 75 Kilometer setelah kembali lgi ke Kecamatan Lakudo dengan perkiraan 2 jam perjalanan. Dengan mengutamakan safety riding karena perjalanan malam, selalu menjaga stamina baik itu kendaraan maupun pengendara. Jarak dengan desa yang lain cukup berjauhan, minimnya lampu jalan, ditambah dengan jalanan yang tidak rata, harus selalu berhati-hati. Setiba kami di Kecamatan Lakudo, ternyata sedang diadakan acara Joget untuk muda-mudi. Tetapi rasa puas dan lelah mengalahkan semuanya, mendengarkan suara musik yang memanjakan telinga dengan irama dangdut remix koplo dari kejauhan sangat menggugah hati tapi apalah daya, istirahat lebih kami utamakan.
Suasana yang cerah dengan segelas teh hangat dan roti lapis ala Lakudo menghiasi indahnya udara pagi. Setelah si Tolang pulang berziarah dari makam neneknya, kami bergegas kembali menuju Kota Baubau pada siang itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H