Sahabat, Kita sering menuding seorang anak tidak pandai, pemalas, bahkan bodoh. Sebuah cap yang secara sadar atau tidak terucap berulang-ulang, sehingga tertanam keyakinan dalam diri anak tersebut sebagai anak bodoh. Dalam bentuknya yang lain, kita juga sering “menuding diri kita sendiri” sebagai orang yang tidak mampu—tidak mungkin bisa begini dan begitu—yang kita jastifikasi dan kita yakini secara terus-menerus. Pada seminar Financial Revolution yang dibawakan Tung Desem Waringin di Jakarta, 7-9 Oktober 2009, saya memperoleh kisah menarik. Adam Khoo, adalah seorang pemuda Singapura super jenius. Pada usia 26 tahun dia sudah mempunyai empat bisnis yang beromzet US$ 20 juta (Rp 180 M). Siapakah dia gerangan? Ketika umur 12 tahun Adam dicap sebagai anak malas, bodoh, agak terbelakang dan tidak ada harapan. Ketika masuk SD, dia benci membaca. Maunya hanya main game komputer dan nonton TV. Karena tidak belajar, banyak nilai F yang membuat dia semakin benci kepada gurunya. Benci belajar, bahkan juga benci sekolah! Saat duduk di kelas tiga, Adam dikeluarkan dari sekolah dan pindah ke sekolah lain. Ketika hendak masuk SMP, dia ditolak 6 sekolah, dan akhirnya masuk ke sekolah yang terjelek. Di sekolah yang begitu banyak murid bodohnya, Adam Khoo termasuk yang paling bodoh. Di antara 160 murid seangkatannya, Adam menduduki peringkat 10 dari bawah. Karuan saja orang tua Adam panik dan mengirimnya ke banyak les. Namun hal itu tidak membantu sama sekali. Rata-rata nilaiinya hanya 40 dari nilai tertinggi 100. Guru matematikanya pun gemas dan memanggil ibunya dan bertanya:” Kenapa di SMP kelas 1, Adam Khoo tidak bisa mengerjakan soal kelas 4 SD?”. Setahun kemudian, Adam Khoo oleh orang tuanya dimasukkan sebuah program yang dibimbing oleh Ernest Wong. Sebuah program yang intinya bertujuan “menanamkan keyakinan” bahwa ia bisa. Adam menjalani program pelatihan yang menggunakan teknologi Accelerated Learning, Neuro Linguistic Programming (NLP) dan Whole Brain Learning. Ajaib, setelah melalui karantina Ernest Wong keyakinan Adam berubah. Ia yakin bahwa ia bisa. Ernest telah menunjukkan bahwa semua orang bisa menjadi jenius dan menjadi pemimpin walau awalnya goblok sekalipun. Dia bilang: ”Satu-satunya hal yang bisa menghalangi kita adalah keyakinan kita yang salah serta sikap negatif.” Inilah yang mempengaruhi Adam Khoo sehinga akhirnya dia berkeyakinan bahwa dia juga bisa meraih nilai A. Pertama kali dalam hidupnya, Adam berani menentukan targetnya, yaitu mendapatkan nilai A untuk semua mata pelajaran. Singkat cerita, dalam waktu tiga tahun rata-rata nilai pelajarannya naik menjadi 70. Dalam satu tahun dari rangking terbawah naik menjadi rangking 18. Bahkan ketika lulus SMP dia meraih ranking 1 dengan nilai A semua untuk 6 mata pelajaran yang diuji. Perjalanan berikutnya Adam mampu menembus kampus favorit National University of Singapore (NUS). Karena setiap tahun ia menjadi juara, maka sekali lagi Adam mengukir prestasinya masuk NUS Talent Development Program. Program ini diberikan khusus kepada TOP 1% mahasiswa yang dianggap jenius. Sahabat, mungkin Anda menyangsikan hal ini. Juga penasaran seperti apakah manusia bernama Ernest Wong yang demikian brilian itu? Saya sendiri sempat mengikuti presentasi Ernest yang luar biasa. Dia berbicara cepat namun teratur, terstruktur, serta mudah dipahami. Dalam sesi pendek setengah jam, dia membuat orang ternganga, dengan mulutnya terus berbicara nyaris tanpa jeda dengan kalimat-kalimat tersusun rapi bagai naskah ketikan yang bersih tak perlu diedit namun enak dibaca dan dicerna. Di Indonesia, banyak anak-anak usia SD-SMA yang mengikuti program Ernest yang digelar setahun sekali. Kembali ke Adam Khoo sebagai sebuah kasus, masih terbuka pemikiran atau debat bahwa itu tidak bisa dijadikan patokan bagi semua orang. Bahkan siapapun boleh menolaknya. Tetapi, bagi saya, upaya kita untuk mendorong anak mengubah dirinya dari kondisi "tertinggal prestasi" -- katakanlah tidak harus menjadi jenius-- menjadi anak yang lebih pandai dan berprestasi, menjadi sesuatu yang harus dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H