Gerhana matahari total lantas sunyi dari gegap gempita pembicaraan. Sebab, mereka yang hingar bingar itu hanya membaca kulit-kulitnya semata sebagai fenomena alam.
Kosmologi Jawa membaca dengan sudut pandang berbeda. Bahwa gerhana matahari total tidak semata fenomena pergesaran matahari dan rembulan. Tetapi juga sekaligus membawa pesan.
Inti pesannya adalah: kita memasuki fase sejarah dari terang menuju kegelapan.
Dalam bahasa Qur'an, hal itu adalah lawan atau mafhum mukholafah dari proses sebuah peradaban mulia yang disebut "minadz-dzulumaati ilan-nuur". Dari kegelapan menuju cahaya.Â
Bahwa semua ayat, baik berupa teks kitab suci, keberadaan para nabi, maupun alam semesta (kauniyah), berfungsi sebagai partitur untuk memandu arah manusia dari kegelapan menuju terang cahaya. Ayat itu sendiri bermakna "tanda".
Namanya partitur, tentu saja tidak semua bisa membacanya dengan benar sesuai harmoni dan irama yang seharusnya.
Ketika gerhana tiba, maka ia membawa pesan "ayat" atau pertanda jaman sebagai kejadian "minan-nuuri iladzulumaat". Sirnanya terang cahaya dan datangnya kegelapan.
Kalau saya katakan kosmologi Jawa, maka akan dikatakan klenik. Maka, saya akan dibiliang syirik. Padahal, begitulah ekspresi masyarakat Jawa, dalam membaca ayat kauniyah.
Bagaimana Islam memandang?
Ketika datang gerhana, Nabi sungguh ketakutan luar biasa. Sebagai manusia yang makrifat dan mampu membaca ayat atau tanda-tanda melebihi umumnya manusia, baginda mengajarkan agar umatnya mawas diri. Dilakukan dengan sholat, dzikir, mendekatkan diri, serta bersedekah agar terhindar dari bala.Â
Orang Jawa punya suatu ilmu yang tidak dimiliki oleh etnis atau bangsa lain. Disebut ilmu titen atau ilmu membaca tanda-tanda. Dan ini sesungguhnya adalah peradaban yang tinggi.