Mohon tunggu...
Anab Afifi
Anab Afifi Mohon Tunggu... Konsultan -

Saya ingin mendengar dan belajar dari Anda serta memberi apa yang saya bisa @anabafifi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Andai Saya Bisa Mantu Seperti Pak SBY!

27 November 2011   00:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:09 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sahabat, Kata "Mantu" dalam bahasa Jawa merupakan akronim dari: "Sing di eman-eman metu". Semua hal berharga (harta-kedudukan-status sosial) dikeluarkan dalam pesta pernikahan. Bagi yang biasanya hanya mampu menyambut tamunya dengan kopi-teh dan pisang goreng, di hari 'mantu' akan berusaha mengeluarkan hidangan istimewa. Begitulah, bentuk dan ragam penyambutan dalam acara mantu, menunjukkan strata ekonomi dan sosial si pemilik hajat. Hajat mantu ketua RT mungkin lebih mewah dari warganya. Demikian juga RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri, hingga Presiden. Tetapi, bisa jadi juga sebaliknya. Tetapi, bentuk pesta mantu itu juga pilihan. Mau mewah atau sederhana. Presiden SBY, kemarin menggelar mantu super mewah dengan undangan ribuan dan undangan tamu orang penting dan pesohor yang membuat antrian salaman selama 1.5 jam di Jakarta Convention Center (JCC). Mantu yang mungkin tidak ada duanya di negeri ini.  Bahkan, belum ada Presiden RI (nebak2 sih) yang sampai menikahkan anaknya di Istana seperti yang dilakukan SBY. Akad nikah Ibas-Aliya dilaksanakan di Istana Cipanas. Dalam waktu hampir bersamaan, Presiden Iran Ahmadinejad juga menggelar mantu anaknya. Ia hanya mengundang 45 orang tamu dengan hidangan sederhana berupa buah dan kue. Apakah  yang dilakukan SBY itu salah? Dan apakah yang dilakukan Ahmadinedjad itu lebih baik? Saya katakan, tidak. Itu hanyalah soal pilihan. Yang membedakan hanyalah niat masing-masing. Resepsi pernikahan dalam Islam disebut walimah atau lengkapnya walimatul 'ursyi. Pesta bagi mempelai. Demi mensyukuri kebahagiaan itu, Rasulullah Muhammad s a w menganjurkan menyelenggarakan pesta itu, semampunya dengan kalimat yang demikian dalam: "Aulim walau bi-syaakim." Adakanlah pesta pernikahan itu meski hanya dengan seekor kambing muda. Ajaran tersebut, menyiratkan semangat bahwa mengadakan pesta mantu itu penuh dengan usaha semampu pemilik hajat.  Nah, penjelasan semampunya itu menjadi relatif. Mampunya seorang warga miskin tentu berbeda.Mampunya seorang buruh atau karyawan, tentu berbeda dengan mampunya si pemilik perusahaan. Mampunya Ketua RT tentu berbeda dengan Ketua RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri atau bahkan Presiden. Hari ini, saya  yakin banyak pasangan muda yang mendambakan acara pesta pernikahan mereka kelak bisa seperti Ibas-Aliya. Sebaliknya, banyak juga pasangan muda, yang meskipun memiliki dana cukup untuk pesta, akan memilih cara Ahmadinejad. Barangkali, jenis yang seperti ini, lebih berpikir sederhana:"Daripada habis untuk pesta 'yang memaksakan diri' lebih baik untuk modal hidup". Barangkali, ada juga orang tua  yang hari ini membuat janji: "Saya ingin kelak bisa mantu anaknya saya seperti Pak SBY!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun