Semua orang pasti tak asing dengan kata "amoxicillin" atau mungkin "imboost", antara antibiotik dan vitamin. Keduanya punya tempat tersendiri di hati masyarakat umum. Antibiotik yang merupakan obat untuk mengobati infeksi karena bakteri, seakan punya stigma lain yang oleh karenanya ia dijuluki sebagai "obat dewa". Sedangkan vitamin adalah salah satu nutrisi dasar yang dapat membantu mengatur metabolisme, mencegah penyakit, dan juga memelihara kesehatan tubuh.
Karena peranan kedua obat tersebut yang luar biasa, tak sedikit dari masyarakat Indonesia yang seolah "ketergantungan" terhadap kedua obat tersebut. Bahkan sejak pandemi Covid-19 melanda, permintaan terhadap kedua obat tersebut meningkat dengan pesat. Tak jarang juga hingga fasilitas pelayanan kesehatan kehabisan stok karena permintaan yang teramat tinggi. Di tengah gempuran berbagai penyakit, kebutuhan akan vitamin memang perlu ditingkatkan. Selain dari makanan yang dikonsumsi setiap hari, nutrisi vitamin juga bisa didapatkan dari produk vitamin yang dijual bebas di pasaran terutama dalam fasilitas pelayanan kesehatan.
Kecemasan kolektif yang didorong oleh beredarnya broadcast tentang kebutuhan akan antibiotik dan vitamin, menyebabkan masyarakat ramai-ramai membeli dengan alasan "persediaan". Tapi, antibiotik bukanlah vitamin. Antibiotik yang diberikan selalu harus dihabiskan. Hal itu bertujuan agar tidak terjadinya resistensi antibiotik, yang didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotik. Resistensi terjadi apabila bakteri mengalami perubahan genetik (mutasi) sehingga menyebabkan hilangnya efektivitas antibiotik. Jadi, bijak dan cerdaslah dalam mengkonsumsi antibiotik dan vitamin.
Antibiotik bukanlah vitamin, bukan untuk dijadikan persediaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H