Mohon tunggu...
Nur Khasanah Latief
Nur Khasanah Latief Mohon Tunggu... -

Penduduk negeri Panjat Pinang I mendambakan indONEsia

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menggugat "Tren Nasionalisme"

21 November 2011   14:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:23 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasionalisme, pada awal kelahirannya merupakan suatu paham / ajaran dimana kesetiaan tertinggi para penganutnya diserahkan secara mutlak pada negara. Idealnya, nasionalisme tak lain dari suatu paham kebangsaan yang kesemuanya terwujud dalam kecintaan terhadap bangsa dan tanah air. Kesetiaan, kecintaan, merupakan dua hal abstrak yang memerlukan penjabaran yang lebih konkrit.

Mengerucutkan paham kebangsaan (nasionalisme) tersebut keranah konteks ke – Indonesia – an, maka akan melahirkan pertanyaan pada diri kita masing – masing yang entah benar – benar telah “me – nasionalis” ataukah hanya “sok nasionalis”, yaitu benarkah kesetiaan dan kecintaan itu telah terjiwai dalam spirit keseharian kita?

Menjawab hal tersebut, maka (dalam tulisan ini) terdapat tiga poin yang perlu dijewantahkan terlebih dahulu; (1) nasionalisme seperti apakah yang didambakan Indonesia? (2) apa parameter me – nasionalis nya seseorang? (3)benarkah kita telah nasionalis?

NASIONALIS ALA INDONESIA

Dalam sebuah literature, saya menemukan bahwasanya nasionalisme ala Indonesia yaitu nasionalisme Pancasila. Berarti, idealnya nasionalisme yang diwujudkan manusia Indonesia ialah (1) nasionalisme yang memandang bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga punya hakikat dan martabat yang sejajar. (2) nasionalisme yang tidak mengarah kepada Chauvinisme, melainkan saling menghormati kemerdekaan manusia dan bangsa lain. (3)bertujuan menumbuhkembangkan semangat persatuan dan kesatuan dalam bela Negara, menghapuskan bakteri – bakteri fanatisme yang dapat merontokkan harmonisasi keindahan dalam perbedaan, bak keselarasan notasi tangga nada –nada yang indah, namun berasal dari nada – nada yang berbeda. (4) terwujud dalam sikap demokratis demi mewujudkan cita – cita hidup bernegara yang sesuai dengan paham kedaulatan rakyat, serta (5) mendorong tumbuhnya semangat perwujudan kesejahteraan bagi seluruh manusia Indonesia (amanat pembukaan UUD 1945 alinea keempat). Semua ini terwujud dalam nasionalisme dalam arti sempit yaitu meninggikan bangsa lain serta dalam arti luas menghormati bangsa lain.

Terkait parameter seseorang yang me – nasionalis itu, semakin terdegradasinya pahaman terhadap nasionalisme maka meniscayakan adanya pendangkalan memaknai serta miskin metode dalam penerapannya. Maka nasionalisme hari ini terenjara dalam simbolik – simbolik instrumental, bukan nasionalisme substansial lagi. Nafas nasionalisme ter-marginal-kan, simbolik diagung – agungkan. Sehingga muncul pendewaan terhadap nasionalisme bergaya musiman, atau bahasa kerennya TREND NASIONALISME. Kecintaan, kesetiaan terhadap bangsa barulah terjiwai saat musim sepakbola, musimnya atlet bulutangkis berlaga dalam kejuaraan internasional, atau yang paling teasa yakni pada saat dimana hari jadi Indonesia telah didepan mata. Maka menjadi trend-lah kaos berlabel Garuda Didadaku, poster atlet bulutangkis yang mendadak menjadi idola, serta bendera merah putih yang berkibar dimana – mana (meskipun mungkin tiang penyangganya rapuh dan hamper saja pongah).

Tak menjadi persoalan memang dengan pernyataan bahwa ternyata bola bias “menyatukan”, prestasi bulutangkis membuat bulu kuduk merinding, atau sejarah sebagai refleksi untuk spirit dimasa depan. Namun, pertanyaannya kemudian, mengapa nafas cinta tanah air tersebut tidak kita wujudkan sehari – hari. Bukan hanya sebatas momentuman?? Misalnya saja melalui pengamalan jiwa Pancasila – is ; tanpa fanatisme keagamaan/ kesukuan dsb, budaya demokrasi yang sehat, dan yang paling penting ialah KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI, dan apliaksikan !!
Untuk penjewantahan poin ketiga (Sudah me-nasionalis-kah kita?), mari renungkan masing – masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun