Duduk di samping Bapak yang terbaring di atas kasur tipis dan dipan kayu yang telah reyot itu, berhasil membuat memori masa kecilku berlompatan dalam pikiran. Berdiam di tempat yang penuh dengan sejarah ini, membuat alam bawah sadarku kembali mengingat satu per satu nasihat kehidupan yang pernah Bapak berikan padaku dan adikku.
Tentang kehidupan yang sejatinya hanya menjadi tempat  persinggahan. Tentang anjuran untuk selalu berbuat baik pada orang lain. Dan tentang semangatnya untuk terus mendorong anak-anaknya berprofesi menjadi seorang guru. Karena hingga detik ini, di tengah segala carut marut dunia, dan kerusakan fungsi otaknya, pandangannya terhadap profesi guru tetaplah sama. Menurutnya, guru adalah manusia yang paling mulia, selain para Nabi tentu saja.
Aku mengembuskan napas panjang, sedikit terenyuh menyaksikan kondisi Bapak yang dulu selalu kuanggap kuat dan menjadi andalan kami, keluarganya. Kini Bapak hanya bisa terbaring lemah di atas dipan reyotnya. Dilihat dari gelisahnya, Bapak tampaknya tak pernah  bisa merasakan nikmatnya tidur dengan nyenyak, sejak penyakit strok yang menyerangnya, semakin hari menjadi semakin merusak fungsi beberapa organ tubuhnya.
 Pandanganku kemudian menyapu ke segala penjuru kamar Bapak yang beraroma pengap dengan penerangan yang suram dari lampu berwarna kuning yang terpasang di dekat lemari tua penuh dengan coretan masa kecil kedua anaknya. Sebagai seorang yang sederhana, tentu saja tak ada perubahan yang signifikan di dalam kamar Bapak, selain jadi jauh lebih berantakan. Tentu saja hal ini sangat wajar, karena kini tak ada lagi Ibu yang selalu mengomel padanya tentang pentingnya mengusahakan setiap sudut rumah selalu rapi.
Lemari dan meja belajar kayu yang kini berwarna semakin pudar, dengan debu yang semakin tebal itu tetap pada posisinya, di samping pintu dengan berbagai macam stiker hasil tangan-tangan kreatif kedua anaknya. Cermin yang menjadi satu dengan lemari tua, tertempel di salah satu daun pintunya, yang menjadi satu-satunya cermin di rumah ini, kondisinya juga tampak sama terenyuhnya dengan sang empunya.
Suara Bapak yang tak jelas, memecah lamunanku. Ternyata Bapak kembali membuka matanya untuk ke sekian kalinya. Aku mencoba mendekatkan wajahku padanya, berusaha keras memahami kata-katanya yang semakin tak jelas karena berkurangnya fungsi otot wajahnya hingga membuatnya sulit berbicara.
"Bapak ingin aku ambilkan air?" tanyaku ragu.
Ia menggeleng. Aku bisa melihat setetes air yang tampak merebak dari ujung matanya. Seketika aku dilanda rasa bersalah yang amat besar, persis pada saat Bapak mengetahui kenakalanku yang sering membolos mengaji demi bisa bermain di lapangan bersama teman-teman.
"Bapak ingin Mas Rian pulang saja," seru Rina, adikku yang membaktikan hidupnya untuk mengurus Bapak.
Seketika aku menoleh ke arahnya, berusaha menepis kesan negatif yang entah mengapa selalu muncul saat  ia berbicara.
"Bapak nggak ingin mengganggu kesibukanmu di sekolah," tambahnya dengan nada yang semakin tak enak didengar di telinga.
Kesibukanku di sekolah memang selalu kujadikan alasan untuk tak bisa pulang ke rumah Bapak. Bahkan sejak Bapak divonis stroke akibat terlalu terpukul karena kepergian Ibu, aku tetap fokus pada pekerjaanku. Namun aku tak berbohong, karena memang begitu adanya. Bukankah hal seperti ini yang selalu diinginkan Bapak sejak dulu? Menjadi seorang guru yang bermanfaat tak hanya untuk murid-muridnya, tetapi juga bagi masyarakat luas.
"Aku datang ke sini untuk menjenguk Bapak, Rin, bukan untuk bertengkar denganmu lagi," jawabku.
"Terlambat, Mas!" seru Rina yang suaranya semakin keras.
Aku hampir saja berdiri jika saja Bapak tak mengerang dengan keras hingga membuat kami berdua berebut mengajukan pertanyaan tentang kondisinya.
Aku sungguh terkejut saat melihat Bapak. Beberapa detik, aku bahkan bertukar pandang dengan Rina yang tampak sangat merasa bersalah. Karena ternyata Bapak bukan mengerang karena penyakitnya. Namun ia menangis teramat keras. Suara tangisan itu begitu memilukan karena bercampur dengan usahanya untuk mengeluarkan sebuah kalimat. Mungkin Bapak ingin kembali menasihati kami seperti yang selalu ia lakukan dulu.
"Maafkan Rina, Pak!" ucap Rina bergetar. Dari ujung matanya, beberapa tetes air mata mulai berjatuhan. "Rina yang salah." Â
 Aku mengembuskan napas panjang menatap Rina bersimpuh di kaki Bapak. Segala omelan yang sudah terancang rapi dalam pikiran, yang siap kumuntahkan padanya, kini sirna.
***
Bapak adalah imam musala di dekat rumah. Pekerjaan sehari-harinya adalah petani. Tentu saja Bapak tak mengolah tanahnya sendiri, melainkan milik seorang guru yang dermawan di kampung tempat kami tinggal. Karena pekerjaannya yang baik dan selalu bisa diandalkan serta bisa dipercaya, pemilik tanah itu selalu memberikan sebuah buku untuk Bapak yang memang selalu haus akan ilmu.
      Sejatinya, Bapak memang termasuk orang yang cerdas. Namun karena nasib yang tak berpihak padanya, ia memutuskan untuk putus sekolah dan bekerja serabutan untuk menghidupi keluarganya yang saat itu tiba-tiba kehilangan kepala keluarga. Ia terpaksa mengubur dalam-dalam mimpinya yang baru saja tumbuh untuk menjadi seorang guru, yang bisa memberikan manfaat dan secuil ilmu yang dimilikinya pada muridnya-muridnya.
      Meski nasib baik tak berpihak padanya, tetapi ilmu yang telah diserap Bapak dari berbagai buku yang dibacanya sejak masih mengenyam bangku sekolah, tak pernah menguap. Semakin hari, justru semakin bertambah. Karena di pekerjaan pertamanya, Bapak yang bertugas menjadi kuli panggul di sebuah toko sembako milik pedagang keturunan Tionghoa, selalu menyempatkan diri untuk membaca koran yang rutin diantarkan oleh loper koran pada sang pemilik toko.
      Di toko itu juga, Bapak bertemu dengan Ibu, cinta pertama sekaligus terakhirnya. Bapak selalu mengulang cerita tentang pertemuan pertamanya dengan Ibu, yang seketika membuatnya yakin bahwa Ibu adalah orang yang akan menemaninya dalam waktu yang lama. Bertemu dengan Ibu juga yang membuat Bapak yakin untuk membangun kehidupan baru di desa tempat tinggalnya hingga kini, dan membuat banyak kenangan bahagia di sini.
      "Kalau banyak orang di luar sana bilang bahwa manusia itu selalu berubah sepanjang waktu, sebenarnya Bapak nggak sepenuhnya setuju dengan pernyataan itu." Bapak lalu tersenyum menatap Ibu yang menyuguhkan segelas teh hangat dan sepiring pisang goreng yang asapnya masih tampak mengepul.
"Karena ibumu  ini adalah contoh nyata dari manusia yang tak pernah berubah."
Ingatan tentang masa lalu Bapak dan momen manisnya bersama Ibu tiba-tiba melintas di pikiran.
Aku lalu ikut bersimpuh untuk mengangkat Rina, menyuruhnya berdiri. Kulihat wajahnya kini sepenuhnya basah dengan air mata. detik ini juga, aku berniat untuk  menghentikan pertengkaranku dengan Rina.
"Terima kasih, Pak, karena telah menjadi Bapak dan seorang guru kehidupan yang baik untuk kami berdua." Aku menarik napas panjang, memberi jeda. "Izinkan aku berbakti pada Bapak, seperti yang Rina lakukan."
Sontak Rina menatapku dengan mata yang membelalak, hingga membuat bola matanya hampir terjatuh ke lantai.
"Izinkan aku pindah ke rumah ini, Pak. Mari kita buat kenangan bahagia seperti dulu lagi," seruku. Aku tak tahu mengapa mengatakan hal ini justru membuatku ingin menangis.
 Â
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H