Kesibukanku di sekolah memang selalu kujadikan alasan untuk tak bisa pulang ke rumah Bapak. Bahkan sejak Bapak divonis stroke akibat terlalu terpukul karena kepergian Ibu, aku tetap fokus pada pekerjaanku. Namun aku tak berbohong, karena memang begitu adanya. Bukankah hal seperti ini yang selalu diinginkan Bapak sejak dulu? Menjadi seorang guru yang bermanfaat tak hanya untuk murid-muridnya, tetapi juga bagi masyarakat luas.
"Aku datang ke sini untuk menjenguk Bapak, Rin, bukan untuk bertengkar denganmu lagi," jawabku.
"Terlambat, Mas!" seru Rina yang suaranya semakin keras.
Aku hampir saja berdiri jika saja Bapak tak mengerang dengan keras hingga membuat kami berdua berebut mengajukan pertanyaan tentang kondisinya.
Aku sungguh terkejut saat melihat Bapak. Beberapa detik, aku bahkan bertukar pandang dengan Rina yang tampak sangat merasa bersalah. Karena ternyata Bapak bukan mengerang karena penyakitnya. Namun ia menangis teramat keras. Suara tangisan itu begitu memilukan karena bercampur dengan usahanya untuk mengeluarkan sebuah kalimat. Mungkin Bapak ingin kembali menasihati kami seperti yang selalu ia lakukan dulu.
"Maafkan Rina, Pak!" ucap Rina bergetar. Dari ujung matanya, beberapa tetes air mata mulai berjatuhan. "Rina yang salah." Â
 Aku mengembuskan napas panjang menatap Rina bersimpuh di kaki Bapak. Segala omelan yang sudah terancang rapi dalam pikiran, yang siap kumuntahkan padanya, kini sirna.
***
Bapak adalah imam musala di dekat rumah. Pekerjaan sehari-harinya adalah petani. Tentu saja Bapak tak mengolah tanahnya sendiri, melainkan milik seorang guru yang dermawan di kampung tempat kami tinggal. Karena pekerjaannya yang baik dan selalu bisa diandalkan serta bisa dipercaya, pemilik tanah itu selalu memberikan sebuah buku untuk Bapak yang memang selalu haus akan ilmu.
      Sejatinya, Bapak memang termasuk orang yang cerdas. Namun karena nasib yang tak berpihak padanya, ia memutuskan untuk putus sekolah dan bekerja serabutan untuk menghidupi keluarganya yang saat itu tiba-tiba kehilangan kepala keluarga. Ia terpaksa mengubur dalam-dalam mimpinya yang baru saja tumbuh untuk menjadi seorang guru, yang bisa memberikan manfaat dan secuil ilmu yang dimilikinya pada muridnya-muridnya.
      Meski nasib baik tak berpihak padanya, tetapi ilmu yang telah diserap Bapak dari berbagai buku yang dibacanya sejak masih mengenyam bangku sekolah, tak pernah menguap. Semakin hari, justru semakin bertambah. Karena di pekerjaan pertamanya, Bapak yang bertugas menjadi kuli panggul di sebuah toko sembako milik pedagang keturunan Tionghoa, selalu menyempatkan diri untuk membaca koran yang rutin diantarkan oleh loper koran pada sang pemilik toko.