Aku mengangguk, mencoba menahan diri untuk tidak menunjukkan kekecewaan di depannya.
***
Kulirik sebentar ponselku yang bergetar. Karena tugas lemburku belum selesai, aku sengaja mengabaikan pesan dari Mama. Kemarin kami sudah memutuskan untuk bertemu dengan pihak WO selesai lembur. Mama dan Papa akan menjemputku di kantor untuk menuju tempat meeting yang telah kami sepakati.
Beberapa menit setelah tugasku selesai, aku bergegas membuka pesan dari Mama. Kupikir Mama hanya memberi informasi tentang hal remeh seperti Mama dan Papa sudah di dekat kantormu. Namun, nyatanya pesan Mama yang kubaca seberat besi yang diangkat oleh para  atlet. Kini besi itu sempurna menjatuhiku. Membuatku limbung, meski nyatanya aku sedang duduk di kursi kerjaku. Membuatku tiba-tiba merasakan remuk di semua anggota badanku. Â
Papa sudah nikah siri dengan wanita lain, Kak.
Aku menelan ludah saat menyadari bahwa aku tak salah baca pesan singkat itu. Aku terdiam beberapa menit, mencoba memahami situasi yang terjadiÂ
***
Pada kondisi biasa-biasa saja, interaksi antar keluargaku relatif tidak dekat. Di rumah, kami hanya saling sapa dan menanyakan kabar seperlunya, atau menertawai hal-hal remeh yang terjadi di sekitar kami. Tak pernah ada pembicaraan yang dalam tentang nilai-nilai hidup yang harus kupelajari dari mereka. Bagi Mama dan Papa, tugas mereka hanya sedangkal menyiapkan semua kebutuhan harianku. Sepertinya, sejak kecil pun, berbagai perasaan yang bergejolak dalam hatiku, juga tak pernah divalidasi. Sehingga sering kali, saat dihadapkan dengan masalah berat seperti ini, aku hanya memilih diam dan berharap masalah itu akan menguap  dengan sendirinya.
Jarak dari kantor dan tempat meeting kami tidak jauh, dengan mengendarai mobil, hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di sana. Namun dengan situasi yang membingungkan seperti ini, waktu sepuluh menit seakan terasa seperti satu abad. Untunglah ketika sampai, perwakilan tiga orang pihak WO sudah ada di sana. Setelah kurang lebih setengah jam kami membahas teknis acara pernikahan, yang entah bagaimana kesimpulannya, karena pikiranku benar-benar sedang carut marut saat ini, pihak WO pun pamit pulang. Segera setelah pihak WO pergi dari meja kami, Papa juga ikut berdiri untuk meninggalkan meja.
"Papa mau salat dulu," ujar Papa seraya berdiri. Seperti biasa, ia hanya bisa kabur dan membiarkan masalah berat yang sedang menimpa kami, menguap begitu saja. Sepertinya kebiasaanku membiarkan masalah berlarut-larut, menurun dari Papa.
Setelah Papa meninggalkan meja, Mama segera menumpahkan ceritanya padaku. Ditunjukkan segala bukti pesan, foto, sampai riwayat panggilan Papa dengan istri sirinya yang ternyata adalah teman semasa sekolahnya dulu. Aku hanya bisa membeku mendengar semuanya. Bahkan untuk mengusap punggung atau memeluk Mama yang menangis sesenggukan saja aku tidak bisa.