Madzhab mainstream adalah salah satu madzhab dalam ekonomi Islam Kontemporer. Misbahul Khoir (2010: 20) menjabarkannya sebagai berikut:
Menurut mazhab mainstream bahwa memang secara keseluruhan tidak terjadi kesenjangan antara jumlah sumber daya ekonomi dengan kebutuhan manusia artinya ada keseimbangan (equilibrium). Namun secara relatif pada satu waktu tertentu dan pada tempat tertentu tetap akan dijumpai persoalan kelangkaan tersebut. Sedangkan pada pandangan kapitalisme klasik penyelesaiannya melalui bekerjanya mekanisme pasar, dan sosialisme klasik melalui sistem perencanaan yang sentralistis.
Menurut Fadllan (2012: 170), mengutarakan bahwa:
Madzhab Mainstream berbeda pendapat dengan madzhab Bagir. Madzhab ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Misalnya, bahwa total permintaan dan penawaran beras di seluruh dunia berada pada titik equilibrium. Namun, jika kita berbicara pada tempat dan waktu tertentu, maka mungkin terjadi kelangkaan sumber daya. Bahkan ini yang sering terjadi. Suplai beras di Ethiopia dan Bangladesh, misalnya, tentu lebih langka dibandingkan di Thailand. Jadi, keterbatasan sumber daya memang ada, dan diakui pula oleh Islam.
Sesuai dengan firman Allah pada Surat Al Baqarah 155:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِ قلى وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ (۱۵۵)
Dan sesungguhnya kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan dan berikanlah kabar gembira kepada orang yang sabar.
Padahal sebagaimana dipahami bahwa keinginan manusia juga tidak terbatas, hal itu juga disindir oleh Al Qur’an. Sesuai dengan Al Qur’an Al Takatsur 1-5:
اَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُ (۱) حَتّٰى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (۲) كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ (٣) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ (٤) كَلَّا لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنَ (۵)
Bermegah-megahan telah melalaikanmu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui. Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti.
Zainal Abidin (2014: 267) menyebutkan: