Sejak dulu, Aceh memang telah terkenal dengan sejuta warung kopi. Rakyat Aceh menjadikan warung kopi sebagai tempat berkumpul, bercengkerama dengan sesama, berdiskusi, bermusyawarah, dan lain sebagainya.
Dalam sebuah perjalanan, suatu hari ba’da magrib di Banda Aceh. Ayah menyetel siaran radio yang pada saat itu tengah memutar tausiyah dari salah seorang Ustad. Aku memperhatikan, betapa apa yang dikatakannya adalah benar.
Temanya sederhana memang. Tentang budaya “ngopi” yang telah mengakar pada masyarakat Aceh. Dimana budaya itu telah ada jauh sebelum kemarin. Namun sekarang, kata beliau makna yang ada di setiap gelas kopi itu telah berubah adanya.
Jika dahulu warung kopi menjadi sarana silaturrahmi, musyawarah atau diskusi antar masyarakat, maka sekarang seiring semakin majunya teknologi, dapatlah kita menemukan manusia-manusia modern di sana. Jangan lagi membayangkan kaum bapak duduk di satu meja, membicarakan berbagai masalah yang sedang hangat. Namun begitu melangkahkan kaki ke dalam warung, maka terhamparlah pemandangan kaum muda yang tengah bertualang di dunia maya.
Bangku-bangku tak lagi riuh dengan obrolan, hanya bunyi tuts-tuts keyboard yang mengisi. Tak ada yang salah dengan teknologi. Namun kehadirannya sedikit banyak telah menggeser nilai budaya.
Jika dahulu orang mungkin ngopi di tempat yang nyaman, maka sekarang orang akan memilih ngopi di tempat yang ada wi-fi.
Masyarakat memang telah semakin maju. Namun bukan berarti langkah itu untuk menghapus apa yang telah terjejak sepanjang waktu sebelum itu. Jalanilah hari ke depan. Namun tetaplah menjaga apa yang telah orang tua wariskan.
Semoga kita menjadi generasi yang berbudaya :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H