Mohon tunggu...
Anom Manembah
Anom Manembah Mohon Tunggu... Lainnya - Santri Kampus Mubarak hingga pengajar di kalimantan barat

Muslim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agama dan Si Peminta-minta

31 Maret 2016   08:43 Diperbarui: 31 Maret 2016   08:54 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kisah si peminta-minta buka kisah baru tetapi sudah lama terjadi pada zaman nabi-nabi. Bahkan para biksu biasa meminta sedekah kerumah-rumah, ataupun orang suci dimasyarakat India biasa mengemis di jalan-jalan. Profesi mengemis makin diminati cukup dengan mengulurkan tangan bisa mendapatkan sejumlah uang yang cukup. Jangan dilupakan juga para peminta-minta berdasi atau berpeci memakai kendaraan dengan membawa proposal sumbangan.

Di Indoneisa masih ramai dibicarakan kisah ayah seorang artis yang ditangkap saat menjadi peminta-minta menjadi pemberitaan diseluruh media bahkan kemarin malam persoalan peminta-minta ini pun dibahas oleh para menteri dan orang berilmu di negeri ini dalam suatu talk show ILC (Indonesia Lawyers Club). Beragam pernyataan muncul hingga melarang dengan tegas. Bagaimana agama memandang nya!

Bagi si peminta-minta (tasawwul), agama memahami bahwa setiap manusia dilengkapi dengan naluri untuk bertahan hidup, melalui daya pilih (ikhtiyar) sesuai daya upaya masing-masing. Lebih dari itu, ada ajaran bahwa untuk mempertahankan hidup yang benar-benar terancam maka dalam keadaan darurat yang tak ada pilihan lain haruslah dilakukan apa saja – sekalipun yang terlarang (mahdzur) demi keselamatan jiwa; seperti memakan bangkai, memakan hewan yang diharamkan apalagi hanya sekedar meminta-minta.

Begitu pula bagi si pemberi kepada si peminta-minta, agama memahami bahwa masyarakat Islam sebenarnya sudah terbiasa dengan ciri hidup bermasyarakat missal melalui shalat berjamaah atau mengumpulkan harta kepada baitul mal maka watak manusia sebenarnya al-insanu madaniyun bbiththabi’I yaitu manusia berwatak kemasyarakatan. Jadi, begitu melihat para peminta di jalan secara spontan mereka akan tergerak untuk memberi pertolongan namun masyarakat juga dibatasi untuk menolong dalam hal yang baik saja (al-Maidah:2).

Nah Masyarakat kita terlupakan dengan furudh al-kifayah, bagaimana kewajiban-kewajiban dalam masyarakat tidak dijalankan diantaranya meningkatkan kecerdasan pengetahuan, ibadah dan kesejahteraan masyarakat. Dalam ajaran agama dikenal dengan perkataan, ‘tidak dibenarkan memearatkan diri sendiri dan tidak dibenarkan menyusahkan orang lain.’ Sekarang ini kesadaraan masyarakat akan hal di atas sudah diambang jurang sehingga permasalahan kemasyarakatan banyak timbul.

Dalam pengaturan negara hak hidup ada jaminan untuk dilindungi, seperti itu juga dalam ajaran agama surah al-Isra : 70 status manusia dijelaskan sebagai al-karamah al-insaniyah manusia seharusnya memiliki kedudukan yang mulia, diberikan martabat yang terhormat. Dalam pengaturannya Negara dihadapkan oleh berbagai jenis manusia yang kesemua menjadi tanggungjawab pemerintah untuk mengaturnya pertama, manusia yang kerjanya merusak (surah al-Baqarah dan al-isra ayat 30). Kedua, manusia yang suka membangun (surah Hud:61 dan al-Baqarah:31). Dan, ketiga manusia yang pandai memelihara sebagaimana sabda Rasulullah saw bahwa kalian adalah pemelihara (ra’in) dan yang bertanggungjawab (mas’ul).

Jika si peminta-minta ini dalam keadaan terpaksa maka kewajiban masyarakat sekitar dan negara untuk tetap memuliakan para peminta-minta bukan malah menghina kehormatannya (Ad-Dhuha:10) apalagi memenjarakan mereka sebab mereka tetap masuk golongan al-karomah al-insaniyah. Namun, jika mereka menjadikan ini sebagai penghasilan rutin apalagi terorganisir berkedok pemalsuan dan penipuan maka dalam pandangan agama mereka layaknya seperti meminta bara api (HR. Ahmad) dan Negara wajib mengadili mereka sebab mereka termasuk golongan manusia yang suka merusak. Dengan memberi hukuman kepada mereka negara telah melindungi atas hak kepemilikan harta benda seseorang atas tindakan penipuan.

Ini setidaknya kebiasaan para pengemis yang membuat mereka bertahan dalam profesi tersebut  yaitu kelemahan secara semangat dan ilmu, kemalasan secara mental, ketakutan dalam kesuksesan berusaha, tertindih hutang membuat orang sulit bangkit dari kemiskinan, dan dikuasi orang lain dalam hal pemerasaan atau perbudakan.

Tentu pemerintah dihadapkan oleh permasalahan yang sulit jika menghadapi manusia jenis seperti ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun