[caption id="attachment_306052" align="alignleft" width="300" caption="Sebagian besar Iklan Apartemen memamerkan Ruang terbuka Hijaunya"][/caption]
Saya sebagai mahasiswi di bidang perencanaan cukup bingung dengan iklan-iklan yang disampaikan oleh Developer Apartment, mengapa mereka memamerkan apartmentnya yang masih rancangan dan ruang terbuka hijau yang sangat wah, kemudian digunakan untuk jogging, sport, dan kegiatan outdoor lainnya. Mengapa tidak langsung menyosor ke apartmentnya saja. Memang sih ada sesi memamerkan isi apartementnya, namun saya menjadi ragu, mengapa tidak sesi ruangan tersebut yang ditonjolkan, malah lebih sering menonjolkan ruang terbuka. Dari sinilah saya menyimpulkan bahwa efek psikologis hunian timbul dari sebuah ruang terbuka.
[caption id="attachment_306053" align="alignleft" width="300" caption="Memamerkan Fasilitas di ruang terbuka"]
Dalam dunia perencanaan saya diajari tentang SPACE, yaitu sebuah ruang yang dapat diukur, dapat didefinisikan, dan dapat dirasakan batasnya. Nah space inilah yang masnusia butuhkan untuk hidup, karena jika kurang satu rasa dari "definisi, ukuran, dan batasnya" itu, maka kemudian sebuah ruang akan menjadi Antispace.
[caption id="attachment_306055" align="alignleft" width="300" caption="Iklan Apartemen biasanya memamerkan rancangannya, bukan kondisi Eksistingnya"]
Analoginya seperti ini. Orang dengan penghasilan yang lebih tinggi cenderung membangun rumah dengan luasan yang sangat luas sesuai dengan budget yang dia punya dan keinginannya dia. Nah, keingiinan inilah yang kadang tak berdasar. Mungkin beberapa orang mengatakan itu menunjukan sebuah strata sosial, beberapa orang lain menyatakan untuk menambah kapasitas udara di ruangan, ada juga yang berpendapat agar tidak sesak. Semua jawaban tersebut tidak ada yang salah, namun perlu digarisbawahi bahwa sebuah rumah merupakan space juga, manusia dengan ekonomi yang lebih jelas menginginkan space yang luas dalam hidupnya meskipun space tersebut dibatasi oleh sekat-sekat bernama tembok/dinding.
Dari sini kita dapat melihat urgensi dari sebuah Ruang, lalu apa hubungannya dengan ruang dan iklan apartemen yang saya sampaikan di awal. Hubungannya jelas, sebuah apartemen kesannya pasti terbatas satu sama lain, tidak ada ruang bebas bergerak sebagai tempat refreshing terdekat dari rumah. Kata orang jawa, rumah itu harus memiliki latar (bahasa Indonesianya Halaman), hal ini memiliki filosofi pentingnya sebuah halaman, atau ruang terbuka hijau bagi manusia.
[caption id="attachment_306057" align="aligncenter" width="300" caption="Hunian Vertikal Pruitt Igoe dihancurkan oleh masyarakatnya sendiri"]
Nah, ironinya, ruang-ruang yang ada sekarang menjadi antispace, yang dirasa-rasa ukurannya tidak manusiawi lagi, bisajadi apartemen-apartemen di Jakarta bila tanpa ruang terbuka hijau didepannya akan bernasib sama dengan permukiman Pruitt-Igoe, St.Louis USA yang kemudian dihancurkan karena ketidakpuasan manusia terhadap sebuah ruang.
Apakah ketiadaan sebuah ruang terbuka hijau itu berdampak pada psikologis masyarakat. Jawabannya adalah "sangat berdampak", pernah saya menemukan sebuah artikel berbahasa Inggris di sebuah buku bertemakan "Sustainable development" yang menyatakan bahwa terjadinya kejahatan di Mexico, Rio de Janiero, Manila, dan kawasan perkotaan kumuh lainnya itu disebabkan karena tidak adanya ruang terbuka yang dapat mengakomodasi aspirasi/ kepenatan mereka. Jadi bukan hanya karena kekumuhanlah, namun juga karena sempitnya ruang terbuka untuk sekedar melepas penat masyarakat.
Dan jika saya menghubungkan ketersediaan space dengan hunian vertikal, mungkin salah satu contoh ironi adalah negara Asia Timur seperti Jepang, Korea, dan China. Hunian mereka bertingkat, mungkin menyelesaikan masalah kesesakan hunian jika dibuat horizontal, namun di negara tersebut banyak sekali kasus bunuh diri terjun dari apartemen. Bukan merupakan kebetulan, karena masalah yang mereka hadapi tersebut, selain mereka sudah tidak punya jalan keluar, mereka tidak dapat melampiaskan masalahnya melalui sebuah space.
Hijau Akan Musnah
[caption id="attachment_306059" align="aligncenter" width="300" caption="Kondisi Hutan Karet BSB saat saya survey, Mei 2013"]
Sebentar lagi citra Landsat Pulau jawa akan menangkap lebih banyak warna merah ketimbang warna hijau, dapat ditebak, vegetasi di Pulau ini, pulau yang mengakar rumputkan budaya rumah harus memiliki halaman akan memusnahkan warna hijaunya secara perlahan karena kebutuhan pembangunan. Jujur ini sebuah ironi. Sayapun tercengang jika melewati indahnya Hutan Karet BSB yang di Peta RTRW Kota Semarang sebentar lagi akan dilibas menjadi permukiman, industri, perkantoran, perdagangan, dan jasa. Memang hal ini akan meningkatkan perekonomian kota Semarang, namun di sisi lain akan meningkatkan dampak negatif seperti kriminalitas dan kematian disengaja secara tidak langsung seperti yang saya uraikan sebelumnya. Saya sungguh menyayangkan Keputusan RTRW Kota Semarang yang seperti memenangkan Developer Bukit Semarang Baru dan tidak mengingat lagi Keadaan Kawasan yang ada di bawahnya.
[caption id="attachment_306061" align="aligncenter" width="684" caption="Perbandingan Peta Eksisting BSB dengan Peta rencananya, Hutan Karetnya yang indah akan dilibas untuk perluasan BSB."]
Untuk alasan ekonomi, saya rasa ini salah, karena pembangunan yang melibas hutan BSB justru akan menambah buruk ekonomi kota Semarang. Kecamatan Tugu dengan Industri yang sangat banyak akan menjadi tempat dengan banjir yang sangat mengganggu kegiatan perindustrian dan pengangkutan industri di Semarang. Jujur saya ingin sekali bisa berbicara dengan pak Hendi Walikota Semarang dan Pak Ganjar Pranowo jika diberi kesempatan mengenai masalah ancaman ekonomi yang akan mendera jika ruang terbuka hijau Kota Semarang maupun kota-kota lain dilibas.
Saya rasa analogi Green Psychologist yang tanpa kajian literatur mendalam ini tetap dapat diterima oleh tiap orang. Yang jadi masalah adalah, apakah berbagai pihak mau menerimanya atau hanya sekedar menjadi wacana??