Di antara pagi dan petang tumbuh bunga yang kelu, memperlihatkan bahwa adanya peristiwa dalam sebuah cerita yang sarat makna
Titik         :Sampai kapan kau mau berdiam saja, bukankah sekarang adalah hari dimana kau akan menyudahi puasa bicaramu itu?
Koma      : (menatap, mengangguk, menggeleng, dan membuang muka)
Titik         :kewarasanmu sudah dipertanyakan orang-orang. Maumu apa, kau memulai semua itu hanya karena sebuah kematian?
Koma      : (mengangguk, lantas berdiri, menggeleng, kemudian duduk jongkok membelakangi titik )
Titik         : Lantas ibumu yang mati menghendaki aksimu ini? Dia sudah mati, sudah dikubur, sudah jadi tulang. Tak membuat ibumu hidup dengan apa yang kau lakukan.
Koma      : (melihat wajah titik, matanya berkaca, menangis tak bersuara)
Titik         : Satu hari aku maklumi, satu minggu aku pahami, satu bulan aku terheran-heran, dua bulan aku geram hingga bertanya kenapa kau melakukan itu. jika sikapmu itu sebagai rasa hati terluka dan berduka kenapa harus berlarut-larut hingga berbulan-bulan lamanya. Jawabanmu masih hanya anggukan, dan gelengan kepala.
Titik         : Persetan denganmu, aku sudah tak mau mengurusmu! (mengambil tas pakaian, bergegas dia berjalan, akhirnya pergi)
Koma      : (memandangi pintu, memandangi pas foto yang berisi kengangan titik, dia, dan ibunya. Menangis tersedu sedan tanpa suara)
Waktu seakan berputar, padahal semuanya membeku. Berdiam di dalam tempatnya, tak bergerak, tak tersentuh. Tak akan datang pagi, tak ada waktu petang dan senja. Hanya itu, suatu pengalaman supra-empiris. Ketika tubuh bercengkrama dengan roh, ketika jiwa bersenggama dengan pikiran.
Koma      : (dalam diamnya) aku hanya ingin terdiam dan berdiam di antara kebisingan dunia. Aku hanya ingin tertidur tanpa alasan seperti aku yang diam tanpa sesuatu apapun. (tertidur di pembaringannya, memejam, menitikan air mata)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H