Adakalanya kemampuan retorika menentukan posisi seseorang pada sebuah komunitas (society). Kelugasan dan kecermatan didalam menyusun kata-kata menjadi senjata ampuh dalam wujud ekspresi diri. Sebuah ekspresi bisa berupa letupan sesaat maupun kondisi yang direncanakan sebelumnya. Oleh karena itu bentuk ekspresi yang didasari oleh kesengajaan tentunya melibatkan motif. Motif itu sendiri secara sederhana berarti energi inheren yang memacu pikiran, sikap hingga menjadi prilaku.
Dalam tataran wacana, kemampuan retoris menjadi syarat mutlak seseorang. Dapat dibayangkan jika kemampuan verbalnya lemah tentunya wacana menjadi tidak seimbang. Akan tetapi di dalam proses wacana itu sendiri memiliki nilai-nilai etis yang mesti dijunjung tinggi. Bahkan Tuhan saja ketika mengutus Rasulnya, mengingatkan bahwa pengutusan itu memperhatikan kondisi sosiologis dan budaya masyarakat yang bersangkutan. Artinya kesengajaan Tuhan itu sendiri ketika Ia menurunkan Al-Kitab dengan menggunakan bahasa Arab lengkap dengan lagu-lagu syair yang puitis. Hal ini demi menjawab situasi psikologis bangsa Arab yang lekat dengan keahlian mereka dalam membuat syair-syair.
Kekhawatiran
Tulisan ini tidak bermaksud mengungkap pemahaman non harfiah terhadap wahyu Tuhan, apalagi menilai derajat seseorang dari mampu atau tidaknya ia dalam berbahasa. Hanya saja ada kekhawatiran jika khotbah “ulama/ustadz” yang dilakukan selama ini dengan tujuan untuk merubah masyarakat, tidak terpenuhi oleh karena kesenjangan bahasa antara pengkhotbah dengan massa. Kekhawatiran kedua adalah terjadinya disasociation what he say, dengan what he actually do. Artinya terjadi a priori massa yang disebabkan oleh rasa tidak percaya terhadap ulama itu sendiri; mereka hanya melihat bahwa pengkhotbah cukup pintar dalam mengelola bahasa akan tetapi tidak cukup cerdas untuk mengelola diri mereka sendiri di tengah masyarakat. Selanjutnya adalah kekhawatiran khotbah yang diutarakan tidak ikhlas; maksudnya tidak lebih dari penunaian rutinitas ritual yang terpaku pada pencarian kesenangan pribadi.
Oleh karena itu, yang sering berkhotbah perlu berhati-hati jangan-jangan anugerah kemampuan bahasa yang Tuhan berikan kepadanya malah menjadi petaka buat dirinya sendiri terlebih bagi pendengarnya. Jangan puas dulu dengan symbol-simbol massa yang artificial; cium tangan kepada ustadz, tertawa ketika mendengar, terlihat senang ketika pulang dan berjubelnya jama’ah. Dalam istilah komunikasi ada beberapa tanda komunikasi yang efektif; tidak monologis, terjadi umpan balik, tidak hanya menyentuh hati akan tetapi juga menyentuh rasio, membuka ruang pemikiran (mungkin kearah kebingungan) dan memberikan modal dasar perubahan social untuk jangka waktu yang panjang. Jadi, yang dikejar adalah pemahaman rasional massa itu sendiri bukan sebaliknya.
Diperlukan Integritas
Mungkin kata-kata diatas bisa dinilai kasar dan cenderung tidak sopan. Akan tetapi justru melalui hal inilah dapat dilihat sejauh mana kapasitas pengkhotbah itu sendiri. Artinya ketika menerima opini berbeda dari pandangan umumnya, sikap reaktif apa yang dipilih; apakah mengumpat dengan tidak mengindahkan ruang toleransi, mengambil mekanisme pertahanan diri yang keliru dengan cara meredam kegelisahan lewat penciptaan proyeksi, agitasi, dan sublimasi atau sebaliknya menerima dengan lapang dada dan membuka ruang dialogis dalam wadah toleransi. Ketika pengkhotbah mengemukakan gagasan-gagasannya, secara aktif pikiran komunikan mengikutinya dengan mengambil bentuk stereotip sisi pribadi pembicara dalam lingkup sehari-hari. Dengan demikian kesesuaian antara yang dikatakan dengan yang dilakukan menjadi nilai lebih.
Kepercayaan sebagai unsure utama dalam membentuk dan menciptakan kerangka perubahan, tidak akan lahir melalui kemahiran dan kecermatan didalam rekonstruksi berbahasa saja. Akan tetapi hal ini juga melibatkan sisi pribadi secara utuh pengkhotbah itu sendiri. Jika salah satunya hilang (disasociation tadi) maka yang akan terjadi adalahskizhoprenia massa; maksudnya terjadi pembelahan dikhotomis antara keharusan untuk mengikuti gagasan-gagasan pengkhotbah dengan bentuk kontradiktifnya dilapangan, sehingga massa mengalami keterpecahan pribadi. Imbasnya merekapun akan menganggap bahwa bentuk perbedaan antara pribadi dalam artian public dengan pribadi dalam artian private adalah hal yang wajar. Maka kekhawatiran munculnya prilaku massa “lain di mulut (pribadi public) lain di hati (pribadi private)” akan menjadi kenyataan.
Ulama sebagai pewaris nabi “warrosatu al-anbiya” memang memikul tanggung jawab yang tidak sedikit. Mereka adalah manusia pilihan Tuhan yang menjadi jembatan kesenjangan antara Nabi dan Rasul yang hidup ratusan tahun lalu dengan kondisi massa/ummat saat ini. Secara otomatis sandaran utama ketika mempertanyakan masalah-masalah pribadi maupun masalah social – menjadi rujukan utama – sebagai pusat imitasi bahkan identifikasi pribadi. Oleh karena itu, keluasan wawasan dan kedewasaan pribadi layak dimiliki oleh ulama masa depan. Nada-nada miring mengenai ulama; konservatif, atoleran, ketinggalan jaman dan gaptek, mesti dicari solusinya mulai saat ini. Sehingga sosok ulama masa depan (dalam tulisan ini disebut pengkhotbah) setidaknya memiliki beberapa ciri sebagai berikut; terbuka, toleran, memiliki wawasan luas, memiliki tingkat partisipasi social yang tinggi dan aktif dalam pembangunan (cirri-ciri manusia modern menurut Alex Inkeles).
Maka jelas, peran sentral ulama dalam perubahan masyarakat (social) berada dalam titik signifikan sekaligus rawan. Ulama dituntut memiliki pribadi sempurna ditengah fitrahnya untuk berkekurangan. Dengan mengacu pada sifat manusia secara alamiah, adalah wajar untuk memiliki sikap-sikap yang diasasosiasi dan berbuat salah. Akan tetapi mengingat misi yang diembannya menyebabkan tuntutan itu mau tidak mau harus dipenuhi; atau setidaknya mendekati untuk dipenuhi. Oleh karena itu Tuhan menjanjikan balasan yang tidak berhingga kepada siapa saja yang memiliki ilmu, dan dengan keleluasaanya memberikan manfaat bagi sekitarnya. Tidak mudah memang, jalannya mendaki, sukar dan curam. Namun balasan yang Tuhan janjikan pun tidak terhitung besarnya.
Perubahan masyarakat tidak terjadi atas asumsi determinisme satu penyebab saja. Banyak hal-hal lain yang turut membantu terciptanya perubahan tersebut. Tulisan ini membatasi pada satu factor yang dinilai penting dan untuk saat ini memiki peran yang tidak sedikit didalam membentuk kerangka berfikir sekaligus mengubah tingkah laku massa. Apalagi secara cultural bangsa kita, lekat dengan budaya patronase yang berurat berakar. Charisma yang biasanya dimiliki oleh orang tertentu menjadi ukuran tertentu didalam menentukan kuat atau tidaknya pengaruh dalam perubahan masyarakat. Maka ulama dinilai membawa peran yang cukup kuat dalam perubahan tersebut {}.
(dipublikasikan pertama kali oleh Majalah Percikan Iman, tahun 2003)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H