Menko Perekonomian, https://m.tempo.co
Sebagai anak bangsa Indonesia, mendengar seorang Menteri membuat stasmen seperti ini rasa-rasanya sangat tidak elok. Disalah satu media online (sumber), Darmin menjelaskan sebagai berikut :
“perangkat pengembangan SDM sebenarnya sudah tersedia. Mulai dari Kementerian Pendidikan, Kementerian Tenaga Kerja,Kementerian Ristek dan Dikti dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).Harusnya dia bisa melahirkan standar kompetensi tenaga kerja, tapi itu tidak terjadi. Masing-masing kelembagaan tidak terkoneksi dengan tepat. Misalnya dalam persoalan anggaran. Sejak beberapa tahun sebelumnya, anggaran pendidikan sudah mencakup 20% dari total APBN yang disalurkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama serta Kementerian Ristek dan Dikti.”
Yang perlu digaris bawahi adalah “STANDAR KOMPETENSI TENAGA KERJA” Presepsi yang dibangun dari pernyataan diatas seolah-olah kita dilahirkan untuk menjadi tenaga kerja dan besar dan hidup hanya untuk menjadi “babu” bagi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia serta kulaitas tenaga kerja Indonesia rendah. Sekolah tidak pernah mengajarkan untuk menjadi tenaga kerja, dari tingkatan Sekolah Dasar sampai Universitas kita dibentuk dengan lembaga yang namanya “Sekolah” untuk bisa menjadi orang Indonesia, sebagai orang Indonesia kita sudah punya karakter tersendiri, kata orang sekarang “ini gaya gue”, mau di jungkir balik, dipaksakan sampai keluar urat leher, yang namanya budaya kerja orang jepang tidak akan pernah bisa diterapkan untuk orang Indonesia.
Standar Kompetensi Kerja seperti apa yang diinginkan? Indikator-indikator apa saja sehingga kita bisa dikatakan tenaga kerja yang professional? Apa memang standar kompetensi tenaga kerja Indonesia rendah? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas tidak terlalu susah, karena kita orang Indonesia yang mempunyai budaya yang berbeda dengan Negara lain.
Sangat tidak logis kalau dengan serta merta harus menerima standar kerja “orang asing” ataupun “Negara lain” , sekali lagi saya katakan kita didik dan dibesarkan dengan budaya Indonesia selam berpuluh-puluh tahun, Untuk apa dikatakan professional kalau sistem kerja sudah mengelminasi sisi kemanusiaan, buat apa jadi tenaga kerja professional kalaulah hidup hanya jadi sebuah rutinitas sampai mati karena kita bukan mesin.
Salah besar kalau standar kompetensi pekerja kita rendah, kelebihan pekerjan Indonesia adalah bekerja dari “hati” , kalau memang tenaga kerja tidak professional, mengapa perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak segera angkat kaki. Toh mereka betah-betah saja dan tetap untung juga yang notabene tenaga kerjanya 100 persen orang Indonesia. Untuk sekedar direnungkan, tidak ada satupun namanya orang Indoensia bercita-cita jadi buruh, tapi ketika sebagia orang menadi buruh , mereka tetap bekerja dengan senyum dan hati yang ikhlas meskipun penghasilan terbilang cukup dan dicukup-cukupkan.
Yang semestinya dipertanyakan adalah apakan Perusahaan-perusahaan besar yang mempekerjakan orang indoensia yang baik dan sering senyum telah Profesional dan telah memenuhi standar kompetensi dalam bermitra dengan tenaga kerja? Jangan-jangan kata-kata professional hanya untuk tenaga kerja bukan untuk kalian
Tuntutan apa lagi yang hendak kau bebankan di pundak tenaga kerja Indonesia? Biarkanlah tenaga kerja Indonesia bekerja sesuai dengan “budaya Indonesia” Sangat aneh dan arogan ketika kita menuntut pekerja Indonesia untuk bekerja sebagai “robot” dengan gaji yang sudah pasti tidak dapat disishkan untuk ditabung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H