Langit kelabu. Bertanda jiwa pekat dengan biru. Hatinya hambar. Tak lama kemudian langit menggelegar. Alunan petir Zeus meneroka langit-langit. Ber-transisi antar neutron-neutron buih hujan yang saling bertabrakan. Dia pun seragam. Berbenturan, bergelut hambar, namun tak dapat beradaptasi. Dimensi meluas. Semesta sedang tertawa bersama buih-buih hujan, petir-petir, bahkan sepatu busuknya menggoda birahi.
Di sebuah tempat persinggahan. Terdapat manusia lara tak bertuan. Tuannya adalah nafsunya sendiri. Dia sedang mengkhianati sesuatu. Perasaan-perasaan benci yang di bunuhnya, kemudian diampaskannya. Menjadi seberkas, setumpuk, segunung, kenangan tak berperi yang diberikan hidup. Tak suka anak kecil, tak suka nonton tv, heteroseksual.
Lama sekali tangan kaku-nya itu menahan gelas bermotif lavender ungu itu. Yang terdiam pasrah di hadapannya. Keadaan menjadi mencekam saat gelas itu tergerak. Menjadi sinar harapan si gelas, yang mendambakan bibir tuannya. Namun si majikan tak tergerak hati-nya. Segelas itu penuh dengan kopi. Hitam pekat. Pahit. Hitam sehitam dan sepahit hidup. realitas dari sebuah konsep hidup. Biasanya dia bisa menghabiskan sepuluh gelas kopi tiap harinya, tanpa tahu apa yang dia cari dari segelas kopi. Bahkan dia saja membencinya.
Terdapat semut berjalan dihadapan Tuan itu. Dia sedang mematung ria. Tangan kirinya, yang penulis lupa gambarkan, mengetuk-ngetuk kunci rumah menghantam meja kaca malang itu. Jika disandingkan dengan jangkrik orkesta di malam lelap, alunan iramanya sangat buruk. Tak terdapat sinkronitas antara fleksibilitas-nya dengan benturan kelebat hujan di luar bilik. Semut itu tiba-tiba menghentikan kehendaknya. Mulut-nya menganga. Seakan-akan mahkluk terkuat di dunia ini bertanya-tanya, sihir ajaib apa yang membuat manusia yang satu ini terpaku.
Masih dengan status yang sama. Di suatu dimensi yang sama. Ruang yang sama. Waktu tak menunjukan apa yang dia inginkan. Matanya memandang gelas kopi yang menunggu nasib. Tangannya siap tergerak, namun hatinya tak mantap. Petir dan hujan masih mengolok-oloknya. Terkadang kursi rotan yang di acuhkannya merengek-rengek. Dia bertanya. Menanyakan setiap hidupnya, hari-harinya, jam-jamnya, detik-detiknya. Mengapa aku hidup? Apa yang dimaksud terhormat dalam hidup busuk semakin membusung? Kenapa aku selalu meminum kopi? Kopi… hidup… kopi… hidup… Roda berputar bukan berarti perpindahan keadaan, tapi mengulang hal yang sama di setiap waktunya. Tak ada relasi, kopi hanya secuil partikel kecil dari hidup. Pikirannya kian berkelebat, disuguhi interviu diri yang tak usang. Berbelit-belit.
Diseruput-nya kopi itu tak mantap. Pahit. Tak ada manis dirasa. Manis hanya sensasi, rasanya tetap saja pahit. Walau di buat semanis permen-pun, tak ada yang bisa menutupi realitas.
Kopi teramat jujur. Dia hitam tanpa menyembunyikan warna hitamnya. Dia pahit tanpa membohongi rasa pahitnya. Alunan derasnya hujan pun menggema dalam sorotan petir datang tak diundang. Menyimpan sejuta rindu kepada-nya. Dia teringat kepada malangnya nasibnya. Si cantik yang berubah menjadi kenangan. Tak jujur pada si cantik dan akhirnya pergi digenggam orang lain. Dirinya mencintai si cantik tanpa tapi. Siapa yang begitu menyesal sekarang? Setelah berhari, berbulan, bertahun telah datang kesempatan kepadanya. dirinya hanya menyesali waktu dan dirinya yang habis di makan waktu.
Pikirannya melayang. Membiarkan zat adiktif dari sepuluh kopi terakhir menguasai saraf-saraf-Nya. Membayangkan seberkas hidup yang dijalaninya. Sumpek dengan keadaan pahitnya tak terbendung. Terlihat gambaran proyeksi. Tamparan manis bertubi-tubi dari sekumpulan anak sebayanya. Di suatu ruang sempit, kosong, gelap, dingin, berselimutkan ketakutan, menyaksikan adik perempuannya tamat di tangan sang ayah. Ibu yang begitu disayangnya menggila. Hatinya makin merana. Ingin matanya copot membendung air mata, namun tak terpenuhi, matanya kering. Hidupnya gelap pekat. pahit.
Dipandangnya genangan kopi dalam gelas itu. Pikirannya kembali berputar. Membayangkan hidupnya adalah secangkir kopi. Diseruputnya kopi itu lagi. pahit dan pahit.
Di balik pekat hitam suatu tempat, bintang-bintang masih menuntunmu berjalan, berlayar dan berkelana. Di pahitnya secangkir kopi, ada sesuatu kecil yang membuatmu merasa tenang dan sedikitnya dari dirimu membutuhkannya. Untuk apa bertanya tentang hidup? Sementara hidup adalah seangkir kopi. Yang membaawamu ke arah antah berantah dan mengenang segelintir kenangan yang tersisa. Menjiwainya seakan-akan pemain drama teater. Namun, menjadinya bukan berarti harus kembali. Jadi, tanyakan sesuatu pada dirimu tentang sekian cangkir kopi yang kau minum. Kenangan ada dan bukan untuk kembali, namun untuk menjadinya, membiarkan terhanyut, lalu menyikapi.
Satu cangkir yang kau minum menjadi dirimu yang sekarang. Pahit dan manis hanya sekedar berlalu. Realitasnya adalah pahit. Hidupmu realitasnya adalah pahit. Di setiap tegukan dan sampai tetesan terakhir, kau menemukan ampas. Begitulah di cangkir yang kedua, ketiga, keempat, hingga sejumlah yang kau bisa telan hanya meninggalkan ampas. Dan menemukan hal yang sama disetiap tetesan terakhirnya.