[caption id="" align="aligncenter" width="495" caption="Angkot di Kota Bandung | http://youthunitedgii.com/berita-149-rute-angkot-bandung.html"][/caption] Ribut-ribut kontroversi pembatasan mobil berplat B dilarang masuk ke daerah Bogor memang menjadi kontroversi. Baik itu yang menerima dengan lapang dada, maupun yang sewot sambil menghina kota-kota satelit yang mengitari Jakarta tidak akan hidup tanpa hadirnya ekonomi di kota Jakarta. Ya, namanya juga kebebasan demokrasi toh, sah-sah saja berbicara seperti itu. Tapi jangan salah, kota-kota ini akan tetap hidup dan bergerilya mencapai kemajuan, bahkan sebelum jakarta merasakannya karena terlalu larut dengan modernitas yang berulang dan memang sudah menjadi pakemnya, hehehe. Contohnya saja Taman Film besutan Bapak Ridwan Kamil yang katanya bisa meningkatkan rasio kebahagiaan penduduk kota Bandung, padahal baru satu tahun memerintah lho! Salut saya sama bapak yang satu ini. Tapi kembali lagi kita ke permasalahan utama. Mengapa semua orang tertarik memakai kendaraan pribadi? Ya tentu saja karena nyaman dan memberikan fleksibilitas lebih pada penggunanya. Jadi jangan salah presepsi bahwa orang yang memakai mobil pribadi merupakan orang yang ngga mau membuat kotanya lebih baik, wong niatnya saja sudah pingin cepat ngga mau ngeramein jalan. Betul khan! Tapi apa daya, pembangunan infrastruktur Indonesia pada jalan darat memang tergolong lambat karena perizinan yang ribet. Sudahlah lewatkan saja bagian ini, terlalu malas rasanya membincangkan politik pada tulisan ini. Karena sepanjang yang saya tau, untuk pembetulan jalan rusak saja bisa memakan waktu tahunan, tergantung tahun anggaran yang dipakai. Kalau ngga cukup untuk betulin jalan tahun ini, ya... tunda saja untuk tahun depan. Akhirnya timbulah kerusakan jalan menahun seperti jalan Pantura. Jadi kenapa muncul kata-kata angkot pada judul tulisan ini? Saya tergelitik menulis ini karena membaca postingan bang Masykur yang berjudul "Bima Arya Sukses Menghujaukan Jalanan Kota Bogor dengan Angkot". Sungguh menarik menyaksikan realita yang disampaikan oleh bang Masykur karena itu memang sudah kejadian menahun. Selama saya tinggal di Kota Bogor memang begitulah yang terjadi. Makin tahun makin banyak angkot yang berpacu mengais rejeki yang ada demi "dapur ngebul" (dan kebanyakan orang menganggap inilah alasan para sopir angkot setia ngetem di jalanan demi anak istri). Namun tahukah anda dengan fakta berikut ini? (kalau sudah tahu Alhamdulillah, kalau ada keraguan, monggo komentar supaya saya mengetahui fakta sebenarnya). 1. Mobil angkot yang para sopir gunakan sebenarnya adalah calon "milik pribadi". Ya, saya mengetahui hal ini dari mantan sopir angkot yang kini beralih profesi menjadi sopir angkutan barang berat. Beliau mengatakan bahwa ada perjanjian dirinya dengan pemilik angkot yang lama bila bersedia memakai angkotnya selama selang beberapa tahun, bisa membeli angkot tersebut dengan nilai yang lebih murah. Contohnya, jika sopir menggunakan angkotnya dalam selang waktu 2 tahun dengan rutin membayar setoran, maka pada tahun kedua, mobil tersebut bisa dibeli dengan harga yang lebih murah sekitar 8 juta rupiah saja lengkap dengan izin trayeknya, (insyaallah bila saya tidak salah dengar). Padahal untuk mobil angkot baru berserta izin usaha dan lainnya kemungkinan harga bisa mencapai ratusan juta rupiah untuk mobil baru dan puluhan juta untuk mobil yang lama. Untung khan, bisa dapet mobil murah, asal sabar. 2. Setoran untuk koperasi angkot atau yang punya angkot sebenarnya tidak terlalu besar, yang bikin mahal adalah bensinnya! Pengetahuan ini saya dapatkan dari para tukang angkot yang biasa beroperasi di Palmerah, dekat kantor lama. Biasanya para sopir angkot ini membayarkan setoran bervariasi mulai dari 20 ribu hingga 35 ribu rupiah sesuai panjang trayeknya. Lalu menghabiskan hingga 50 ribu rupiah untuk benisn untuk satu sesi "narik" (rit) yang bisa dilakukan pagi, siang atau baru "narik" malam hari. Sedangkan pendapatan sehari menjadi sopir angkot belum tentu bisa mencukupi untuk membayar sekitar 70 ribu rupiah hingga 85 ribu rupiah. Adakalanya mereka untung pada siang dan malam hari, katanya lumayan bisa dapat hasil bersih 100 ribu rupiah seharinya. Jajan euy! 3. Angkot memiliki "spot" khusus untuk mendapatkan penumpang. Ya, hal ini sudah jamak kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalkan angkot rajin ngetem di depan kantor, sekolahan, pasar dan persimpangan. Informasi ini ternyata tidak dipendam sendiri. Para sopir angkot akan rela memberitahukan informasi persimpangan berharga ini pada rekan-rekannya para sesi narik lainnya baik siang maupun malam. Â Kecuali para sopir angkot yang memang pengen untung sendiri ngga bakalan keluar informasi itu pada teman-temannya. Informasi ini sangat dibutuhkan bagi para sopir angkot baru. Yaa bagi-bagi rejekilah, sama-sama untung! Nah ini ada permasalahan sekaligus solusi yang bisa saya sampaikan. 1. Calon penumpang angkot tidak tau letak halte di mana dan memanfaatkan halte untuk kebutuhan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Baca pemberitaan tentang Terminal Manggarai yang sekarang berfungsi sebagai tempat tidur sopir? Itulah realita yang ada karena masyarakat Indonesia pada umumnya pengen cepat, tidak ribet dan praktis. Hal inilah yang tidak disadari oleh para pembuat terminal atau halte yang ada. Bukan menyalahkan sang pembuat fasilitas ataupun membela masyarakat yang tidak bisa menggunakan fasilitas umum dengan benar, tetapi di Indonesia kerap terjadi ketidakpekaan atas realitas sosial dalam pembangunan. Seharusnya prinsip pembangunan tetap mengedepankan adat istiadat yang ada, tidak asal modern dan mentereng saja. Penataan memang bagus, tetapi penataan itu fungsinya untuk memudahkan mobilitas masyarakat bukan? Solusinya: Kalau untuk pembangunan halte ya dicukupi saja sesuai panjang jalannya dan persimpangan yang ada sekitar setiap 100 atau 200 meter. Memang terkesan sulit, tetapi ini harus dilakukan untuk memberikan pendidikan cara naik kendaraan umum yang benar. Solusi lainnya adalah angkot boleh saja ngetem dimana saja, tapi harus di lajur kiri dan tidak boleh pindah ke lajur kanan yang khusus kendaraan pribadi. Menurut saya pembuatan border di jalan-jalan utama ala-ala trans jakarta bisa ampuh, asalkan tidak terlalu tinggi seperti di depan kampus almamater saya, Kampus IPB Gunung Gede. Jadi kendaraan pribadi dan umum memiliki pembedaan. Kalau saya lihat di bandung, sekarang sedang giat-giatnya diadakan pembangunan halte di jalan-jalan yang dilalui angkot, lengkap dengan papan informasi kendaraan umum apa saja yang melintasi jalan tersebut. Memang biasa, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. [caption id="" align="aligncenter" width="550" caption="Halte Baru | Simak juga permasalahannya di: http://kupalima.wordpress.com/2010/03/28/kritik-mambangun-untuk-halte-kota-bandung/"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H