Mohon tunggu...
Akbar Muhibar
Akbar Muhibar Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa, Blogger dan Vlogger

Penyuka seni suara dan seni membaca terbalik. Saat ini juga menjadi penulis di akbarjourney.com dan vlog akbarjourney.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Angkot Plat Kuning dan Plat Hitam Mobil Jakarta

19 September 2014   02:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:17 1830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="495" caption="Angkot di Kota Bandung | http://youthunitedgii.com/berita-149-rute-angkot-bandung.html"][/caption] Ribut-ribut kontroversi pembatasan mobil berplat B dilarang masuk ke daerah Bogor memang menjadi kontroversi. Baik itu yang menerima dengan lapang dada, maupun yang sewot sambil menghina kota-kota satelit yang mengitari Jakarta tidak akan hidup tanpa hadirnya ekonomi di kota Jakarta. Ya, namanya juga kebebasan demokrasi toh, sah-sah saja berbicara seperti itu. Tapi jangan salah, kota-kota ini akan tetap hidup dan bergerilya mencapai kemajuan, bahkan sebelum jakarta merasakannya karena terlalu larut dengan modernitas yang berulang dan memang sudah menjadi pakemnya, hehehe. Contohnya saja Taman Film besutan Bapak Ridwan Kamil yang katanya bisa meningkatkan rasio kebahagiaan penduduk kota Bandung, padahal baru satu tahun memerintah lho! Salut saya sama bapak yang satu ini. Tapi kembali lagi kita ke permasalahan utama. Mengapa semua orang tertarik memakai kendaraan pribadi? Ya tentu saja karena nyaman dan memberikan fleksibilitas lebih pada penggunanya. Jadi jangan salah presepsi bahwa orang yang memakai mobil pribadi merupakan orang yang ngga mau membuat kotanya lebih baik, wong niatnya saja sudah pingin cepat ngga mau ngeramein jalan. Betul khan! Tapi apa daya, pembangunan infrastruktur Indonesia pada jalan darat memang tergolong lambat karena perizinan yang ribet. Sudahlah lewatkan saja bagian ini, terlalu malas rasanya membincangkan politik pada tulisan ini. Karena sepanjang yang saya tau, untuk pembetulan jalan rusak saja bisa memakan waktu tahunan, tergantung tahun anggaran yang dipakai. Kalau ngga cukup untuk betulin jalan tahun ini, ya... tunda saja untuk tahun depan. Akhirnya timbulah kerusakan jalan menahun seperti jalan Pantura. Jadi kenapa muncul kata-kata angkot pada judul tulisan ini? Saya tergelitik menulis ini karena membaca postingan bang Masykur yang berjudul "Bima Arya Sukses Menghujaukan Jalanan Kota Bogor dengan Angkot". Sungguh menarik menyaksikan realita yang disampaikan oleh bang Masykur karena itu memang sudah kejadian menahun. Selama saya tinggal di Kota Bogor memang begitulah yang terjadi. Makin tahun makin banyak angkot yang berpacu mengais rejeki yang ada demi "dapur ngebul" (dan kebanyakan orang menganggap inilah alasan para sopir angkot setia ngetem di jalanan demi anak istri). Namun tahukah anda dengan fakta berikut ini? (kalau sudah tahu Alhamdulillah, kalau ada keraguan, monggo komentar supaya saya mengetahui fakta sebenarnya). 1. Mobil angkot yang para sopir gunakan sebenarnya adalah calon "milik pribadi". Ya, saya mengetahui hal ini dari mantan sopir angkot yang kini beralih profesi menjadi sopir angkutan barang berat. Beliau mengatakan bahwa ada perjanjian dirinya dengan pemilik angkot yang lama bila bersedia memakai angkotnya selama selang beberapa tahun, bisa membeli angkot tersebut dengan nilai yang lebih murah. Contohnya, jika sopir menggunakan angkotnya dalam selang waktu 2 tahun dengan rutin membayar setoran, maka pada tahun kedua, mobil tersebut bisa dibeli dengan harga yang lebih murah sekitar 8 juta rupiah saja lengkap dengan izin trayeknya, (insyaallah bila saya tidak salah dengar). Padahal untuk mobil angkot baru berserta izin usaha dan lainnya kemungkinan harga bisa mencapai ratusan juta rupiah untuk mobil baru dan puluhan juta untuk mobil yang lama. Untung khan, bisa dapet mobil murah, asal sabar. 2. Setoran untuk koperasi angkot atau yang punya angkot sebenarnya tidak terlalu besar, yang bikin mahal adalah bensinnya! Pengetahuan ini saya dapatkan dari para tukang angkot yang biasa beroperasi di Palmerah, dekat kantor lama. Biasanya para sopir angkot ini membayarkan setoran bervariasi mulai dari 20 ribu hingga 35 ribu rupiah sesuai panjang trayeknya. Lalu menghabiskan hingga 50 ribu rupiah untuk benisn untuk satu sesi "narik" (rit) yang bisa dilakukan pagi, siang atau baru "narik" malam hari. Sedangkan pendapatan sehari menjadi sopir angkot belum tentu bisa mencukupi untuk membayar sekitar 70 ribu rupiah hingga 85 ribu rupiah. Adakalanya mereka untung pada siang dan malam hari, katanya lumayan bisa dapat hasil bersih 100 ribu rupiah seharinya. Jajan euy! 3. Angkot memiliki "spot" khusus untuk mendapatkan penumpang. Ya, hal ini sudah jamak kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalkan angkot rajin ngetem di depan kantor, sekolahan, pasar dan persimpangan. Informasi ini ternyata tidak dipendam sendiri. Para sopir angkot akan rela memberitahukan informasi persimpangan berharga ini pada rekan-rekannya para sesi narik lainnya baik siang maupun malam.  Kecuali para sopir angkot yang memang pengen untung sendiri ngga bakalan keluar informasi itu pada teman-temannya. Informasi ini sangat dibutuhkan bagi para sopir angkot baru. Yaa bagi-bagi rejekilah, sama-sama untung! Nah ini ada permasalahan sekaligus solusi yang bisa saya sampaikan. 1. Calon penumpang angkot tidak tau letak halte di mana dan memanfaatkan halte untuk kebutuhan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Baca pemberitaan tentang Terminal Manggarai yang sekarang berfungsi sebagai tempat tidur sopir? Itulah realita yang ada karena masyarakat Indonesia pada umumnya pengen cepat, tidak ribet dan praktis. Hal inilah yang tidak disadari oleh para pembuat terminal atau halte yang ada. Bukan menyalahkan sang pembuat fasilitas ataupun membela masyarakat yang tidak bisa menggunakan fasilitas umum dengan benar, tetapi di Indonesia kerap terjadi ketidakpekaan atas realitas sosial dalam pembangunan. Seharusnya prinsip pembangunan tetap mengedepankan adat istiadat yang ada, tidak asal modern dan mentereng saja. Penataan memang bagus, tetapi penataan itu fungsinya untuk memudahkan mobilitas masyarakat bukan? Solusinya: Kalau untuk pembangunan halte ya dicukupi saja sesuai panjang jalannya dan persimpangan yang ada sekitar setiap 100 atau 200 meter. Memang terkesan sulit, tetapi ini harus dilakukan untuk memberikan pendidikan cara naik kendaraan umum yang benar. Solusi lainnya adalah angkot boleh saja ngetem dimana saja, tapi harus di lajur kiri dan tidak boleh pindah ke lajur kanan yang khusus kendaraan pribadi. Menurut saya pembuatan border di jalan-jalan utama ala-ala trans jakarta bisa ampuh, asalkan tidak terlalu tinggi seperti di depan kampus almamater saya, Kampus IPB Gunung Gede. Jadi kendaraan pribadi dan umum memiliki pembedaan. Kalau saya lihat di bandung, sekarang sedang giat-giatnya diadakan pembangunan halte di jalan-jalan yang dilalui angkot, lengkap dengan papan informasi kendaraan umum apa saja yang melintasi jalan tersebut. Memang biasa, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. [caption id="" align="aligncenter" width="550" caption="Halte Baru | Simak juga permasalahannya di: http://kupalima.wordpress.com/2010/03/28/kritik-mambangun-untuk-halte-kota-bandung/"]

Halte Transportasi Kota Bandung
Halte Transportasi Kota Bandung
[/caption] Kalau perlu kembali adakan pendidikan Kewarganegaraan yang isinya berbudi baik dan toleransi. Saya merasa pendidikan ini memang dibutuhkan oleh seluruh kalangan. (Mungkin ini sudah di wujudkan pada K13 saat ini) 2. Jumlah angkot yang banyak dan tidak mematuhi jadwal "narik" mereka masing-masing. Misalkan jadwal pagi yang seharusnya digunakan mobil bertanda "Shift A" malah diisi dengan mobil lainnya dengan kode "Shift B" dan "Shift C" untuk jadwal siang dan malam hari. Solusinya: Mungkin ini bisa menjadi cara yang ampuh. Pemerintah daerah ataupun seluruh pengusaha angkot harus rela mendirikan sebuah perusahaan yang mengakomodir seluruh aktifitas angkot dalam satu kota. Seperti PDAM yang mengatur air minum. Sehingga semuanya terkoordinasi dengan baik dan pekerjaan sopir angkot bisa menjadi sebuah profesi yang dijamin oleh pemerintah daerah. Pemasukanpun tidak akan dibatasi perharinya karena digaji oleh pemerintah. Insyaallah bisa dilaksanakan kalau mau, khan untuk hajat hidup orang banyak? Bisa saja pengelolaannya ala Trans Jakarta tapi kalau ini versi angkotnya. Siapa bilang yang kecil-kecil tidak memberikan hasil yang besar? Sekalian bisa jadi pemasukan rutin daerah. Sampai saat ini saya masih memimpikan menaiki angkot tanpa uang tunai, tingal tap dengan UNIK alias Uang Elektronik. Jadi mempersingkat waktu transaksi dan tidak membuat macet arus jalan kalau turun di halte yang diinginkan. Untuk mendapatkan UNIK juga dipermudah dengan cara memberikannya pada sopir angkotnya sendiri jadi bisa sekalian jualan. Setiap sopir bisa menjual UNIK satu unit pada penumpangnya, sopir dapat royalti dari bank. Sama-sama untung toh! Untuk pengisian ulangnya bisa dilakukan pada penerbit UNIK masing-masing dan informasi ini ditempelkan pada setiap halte yang ada, disiarkan pada seluruh radio di daerah sesering-seringnya dan muncul di televisi daerah setiap harinya. Banyak permasalahan lainnya yang membuat para pengguna dan sopir yang memang belum saya sampaikan di sini, namun mudah-mudahan bisa menjadi info yang menarik bagi pembaca semuanya. Ohoy, sudah lama tidak menulis jadi sering acakadul seperti ini. Jadi tetap jayalah angkot karena menjadi sopir angkot juga pekerjaan mulia. Salam @Akbarcubar

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun