Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puasa Ujian Kejujuran Diri (20)

8 Juli 2015   23:21 Diperbarui: 8 Juli 2015   23:21 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MACET SEBAGAI ALASAN BERBOHONG

Oleh Armin Mustamin Toputiri

Menghadapi macet saat berkendara di Jakarta, ibukota negara kita itu, seolah bukan lagi hal yang istimewa. Kata banyak orang, jika berkendara di jalan lalu tak menghadapi kemacetan, justru bukan di Jakarta namanya. Makanya, bagi orang-orang yang telah sekian lama berada di Jakarta, menghadapi kemacetan di jalan seolah peristiwa lumrah. Peristiwa yang biasa-biasa saja. Tak punya alternatif lain selain pasrah menerimanya sebagai suatu suratan takdir.

Tapi bagi kita yang selama ini bermukim di luar Jakarta, lalu suatu waktu datang ke Jakarta, menghadapi macet di jalan seolah menjadi bencana. Membuat kepala pening berjam-jam di atas kendaraan, karena tempat yang akan dituju, berdasar hitungan sederhana andaikan berada di Makassar misalnya, jarak sejauh itu cukup ditempuh dalam hitungan menit saja, tapi di Jakarta harus terpaksa diterima, jika menempuhnya dalam beberapa jam lamanya.

Merenungkan kemacetan jalan di Jakarta sebagai ibukota negara, di benak saya menari-nari pikiran bodoh, pantas negeri ini tak maju-maju. Betapa banyak urusan negara yang mestinya dapat diselesaikan dengan cepat, tapi justru banyak terbuang di jalan. Belum lagi soal macet Jakarta sering dijadikan dalih dan alasan banyak orang untuk berkelit jika tak menepati janji bertemu sesuai jadwal. “Maaf, lagi macet, sedikit lagi sampai”. Dalihnya selalu seperti itu.

Dan siang kemarin, kepala saya menjadi pening, bukan karena sedang berada di atas mobil yang tengah di hadang macet, tapi justru menjadi pening karena menyaksikan seorang sopir kantor yang tengah berkelit alasan dihadang macet, padahal dirinya baru saja bangun tidur. “Maaf pak”, jawabnya menerima telepon. “Masih di jalan, lagi macet Pak”, lanjutnya. Saya coba menegurnya karena sedang puasa tapi berbohong. “Biasalah Jakarta Pak”, tepisnya.

Faisal-Makassar, 20 Ramadhan 1436 H/07 Juli 2015 M.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun