Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Proklamasi: "Penculikan" Soekarno dan Hatta

18 Agustus 2014   14:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:15 3622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408322025170206759

[caption id="attachment_319806" align="alignnone" width="630" caption="Photo: Tempo.com"][/caption]

P R O K L A M A S I

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan

dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05

Atas nama bangsa Indonesia.

Soekarno/Hatta.

Siang kemarin, Minggu, 17 Agustus 2014 --- genap 69 tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia menikmati kemerdekaanya --- seluruh wilayah nusantara, dari sabang di ujung Barat dan Marauke di ujung Timur, serentak melaksanakan upacara resmi. Mengibarkan sang saka Merah Putih dan membacakan teks Proklamasi, guna mengenangkan kembali masa-masa ketika dwitunggal Soekarno-Hatta (atas nama Bangsa Indonesia) membacakan teks proklamasi itu di halaman rumah Soekarno Jl. Pegangsaan Timur nomor 56 Jakarta, sebagai pernyataan kemerdekaan dan “pemindahan kekoeasaan dll” dari kaum penjajah.

Setiap kali, setiap tahun dan seluruh nusantara kita merayakannya, tapi mungkin hanya sebatas itu yang terekam dalam benak kita untuk memahami bagaimanakah kisah detik-detik saat sebelum dan menjelang pukul 10.00 WIB kala itu, ketika Soekarno didampingi Hatta serta disaksikan ratusan orang membacakan teks proklamasi itu. Tanpa mungkin kita tahu bahwa ketika Soekarno membacakan teks itu, ia masih dalam keadaan demam. Tanpa kita tahu jika malamnya Soekarno pulang ke rumah pukul 04.00 dan tertidur pulas hingga pukul 09.00 pagi, selang sejam sebelum ia membacakan teks proklamasi.

Tanpa kita tahu bahwa andaikan sehari sebelumnya Soekarno dan Hatta tidak “diculik” oleh sekelompok anak muda dari “Menteng 31”, maka bisa jadi tanggal 17 Agustus akan terlewatkan begitu saja karena kita tidak mengingatnya sebagai tanggal yang memiliki arti bagi Bangsa Indonesia. Mungkin yang akan kita kenang adalah 24 Agustus, sebagaimana diinginkan Jepang, atau paling tidak di atas 20 Agustus seperti direncanakan Soekarno dan Hatta untuk tampil membacakan Proklamasi, karena menurutnya harus dibicarakan lebih awal dengan pihak Jepang dalam rapat PPKI untuk menyiapkan segala sesuatunya.

Pertimbangan Soekarno dan hatta seperti itu, membuat anak muda “Menteng 31” dan pemuda pelopor gerah. Akibat itu, 15 Agustus, pukul 20.00, mereka segera melakukan rapat di Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur. Chaerul Saleh yang memimpin rapat itu menghasilkan putusan yang menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hal dan soal rakyat Indonesia sendiri, tidak perlu digantungkan pada bangsa lain. Segala ikatan, hubungan dan janji kemerdekaan harus diputus sendiri, untuknya Soekarno dan Hatta diminta untuk segera mendeklarasikan pernyataan kemerdekaan Indonesia.

Ketika Wikana dan Darwis diutus mewakili anak muda untuk menyampaikan hasil rapat kepada Soekarno dan Hatta, ternyata ditolak. Soekarno kukuh pada pendiriannya, tidak akan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia sebelum PPKI bersidang demi menajaga agar tidak terjadi konflik dengan Jepang. Mendapat penolakan, anak-anak muda itu kian gerah dan curiga jika Soekarno dan Hatta berada di bawah kekuatan Jepang. Sepulang ketemu Soekarno dan Hatta, pukul 24.00 WIB, anak-anak muda itu kembali mengadakan rapat di Jalan Cikini 71, rapat memutuskan untuk “menculik” Soekarno dan Hatta.

Selang beberapa waktu setelah mereka bubar dari rapat itu, pukul 04.00 WIB, rencana “penculikan” Soekarno dan Hatta benar-benar dilaksanakan. Masih terlelap, Soekarno dibangunkan tokoh pemuda, Chaerul Saleh. “Keadaan sudah memuncak, kegentingan harus diatasi”, ujar Chaerul Saleh kepada Soekarno. “Orang-orang Belanda dan Jepang sudah siap menghadapi kegentingan itu. Keamanan Jakarta pun tidak bisa lagi ditanggung oleh pemuda, karena itu supaya Bung segera bersiap bersama kami untuk berangkat keluar kota”, lanjut Chaerul Saleh.

Akhirnya subuh hari itu juga, 16 Agutus, Sukarni, Yusuf Kunto, Syudanco Singgih, serta beberapa anak muda lainnya mendapat tugas untuk “membawa lari” Soekarno dan Hatta, serta mengikutsertakan Fatmawati dan Guntur --- yang kala itu baru berusia 9 bulan --- keluar dari wilayah Jakarta, menuju Karawang-Bekasi. Tempat dipilih di Rengasdengklok. Mereka menyembunyikan Soekarno dan Hatta, serta Fatmawati dan Guntur di sebuah rumah penduduk warga keturunan, Djiau Kie Song. Itu sebabnya ketika pukul 10.00 pagi, rapat PPKI di Jakarta dibatalkan, karena Soekarno dan Hatta tidak muncul.

Di rumah Djiau Kie Song di Rengasdengklok itulah, perwakilan anak-anak muda kembali mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, sekaligus meyakinkan bahwa Jepang telah menyerah pada sekutu dan mereka bersama para pejuang siap menghalau jika Jepang masih mau melakukan perlawanan. Sementara di Jakarta, juga dilakukan perundingan tentang topik yang sama. Wikana mewakili anak muda dan Ahmad Soebardja yang mewakili golongan tua. Ahmad Soebardja menerima desakan anak muda dan berjanji akan menyampaikan kepada Soekarno dan Hatta.

Ahmad Soebardja akhirnya diantar oleh tokoh pemuda, Sudiro dan Yusuf Kunto, menemui Soekarno dan Hatta di Rengasdengklok. Tiba di sana pukul 17.30 WIB. Pertemuan hari itu disepakati untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia akan dilksanakan esok harinya, paling lambat pukul 12.00 siang, dengan ketentuan dilaksanakan di Jakarta, tidak di Rengasdengklok. Akibat Ahmad Subardjo ikut menjaminkan nyawanya sebagai taruhan atas kesepakatan itu, akhirnya sore hari Soekarno dan Hatta, serta Fatmawati dan Guntur meninggalkan Rengasdengklok, diantar kembali ke Jakarta.

Setiba di Jakarta, malam itu juga Soekarno dan Hatta diantar Laksamana Maeda, segera menemui Mayjend Maichiro Yamamoto (Kepala Pemerintahan Jepang), tapi ditolak dan diarahkan ketemu Mayjend Otoshi Nishimura (Kaur Pemerintahan Militer Jepang). Dari sini mereka mendapat penjelasan tentang pesan dari Tokyo yang tidak memberi ruang bagi Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Soekarno dan Hatta tidak menerima dalih itu. Akibat terjadinya perdebatan panas, Maeda mengajak pulang. Karena Hotel Des Indes tidak dapat digunakan rapat tengah malam, Maeda menawarkan rumahnya.

Maeda tentara Jepang, sehingga memilih masuk kamar saat sidang PPKI berlangsung di meja makan rumahnya. Sidang merumuskan naskah Proklamasi yang dilakukan Soekarno, Hatta dan Achmad Subardjo, disaksikan tokoh pemuda, Soekarni, B.M. Diah, Sudiro dan Sajuti Melik. Setelah teks disepakati, pagi hari, Sajuti mengetik ulang menggunakan mesin tik pinjaman dari kantor perwakilan AL Jerman. Sukarni mengusul agar Soekarno-Hatta yang bertandatagan atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi semula direncanakan dibacakan di lapangan Ikada, tapi faktor keamanan, dipindah ke rumah Soekarno.

Sidang PPKI berlangsung sejak pukul 02.00 hingga 04.00 WIB. Setelahnya mereka bubar. Soekarno tertidur pulas hingga dibangunkan pukul 09.00 WIB oleh dokter pribadinya. Hari itu Soekarno merasa demam, sehingga disarankan minum obat. Saatnya Pukul 10.00 WIB, Soekarno didampingi Hatta, tampil membacakan Proklamasi, dilanjutkan Pidato singkat tanpa teks. "Demikianlah saudara-saudara! Kita telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun negara kita! Negara merdeka, Negara Republik Indonesia merdeka, kekal dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita"!

Setelahnya, Merah Putih --- hasil jahitan tangan Fatmawati --- dikibarkan, hadirin spontan mengikutinya dengan nyanyian Indonesia Raya. Soewirjo, Walikota Jakarta, Moewardi mewakili Barisan Pelopor, menyampaikan sambutan. Setelah itu, acara yang kurang dari sejam itu pun selesai. Sederhana tanpa dokumentasi. Suara Soekarno saat membacakan Proklamasi, tak ada yang merekam, kalaupun ada hanyalah rekaman ulang. Juru photo yang hadir, pun hanya memiliki sisa tiga kutipan saja. Semua itu karena serba mendadak, akibat desakan anak-anak muda dan pemuda pelaopor yang “menculik” Soekarno-Hatta. Tapi andai “penculikan” tak ada, mungkin kemerdekaan RI, kini belum genap 69 tahun.

Makassar, 18 Agustus 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun