Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Politik Pelawak Bolot

9 Maret 2011   16:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:56 3514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12996612571522963636

[caption id="attachment_94121" align="aligncenter" width="548" caption="H. Bolot (kapanlagi.com)"][/caption]

Saya tidak tahu siapa nama lengkap pelawak satu ini. Saya hanya tahunya kalau pemain Lenong Betawi --- kelahiran Jakarta 1942 --- ini, populer dengan nama (Haji) Bolot. Setiap kali menyaksikan lawakannya, saya hanya bisa senyum geli sambil teranggguk-angguk sendiri.Bolot memang selalu mempertontonkan berbagai ragam kekonyolan, sebagaimana personifikasi khasnya sebagai orang budeg, alias tuli. Lantaran budegnya itu, bersama lawan bicaranya, selalu tidak nyambung. Lawan bicaranya dibuat gemas dan jengkel. Lain ditanya, lain pula dijawab. "Saatnya kita bagi-bagi tugas ya", jelas lawan mainnya. Bolot pun tiba-tiba (pura-pura) budeg, tak mendengar apa dibicarakan. "Perempuan Sunda memang cakep ya", tepis Bolot tanpa mau tau apa pernyataannya nyambung atau tidak dengan lawan bicaranya. Kira-kira demikian personifikasi khas Bolot setiap kali tampil memainkan lawakan. Bicara soal bagi-bagi tugas, kerja dan tanggungjawab, yaqinlah Bolot akan alihkan perhatiaan. Seolah tidak mendengar, atau tepatnya pura-pura tuli. Sebaliknya jika bicara soal uang dan wanita cantik --- tentang dua soal itu --- yaqinlah pendengaran Bolot pasti akan langsung jernih. Ia pasti akan memberi respon balik. Banyolan Bolot memang serba lucu dan menggelikan. Suatu kali Bolot mendapat perintah juragannya membeli minyak goreng di kedai seberang, tapi Bolot pura-pura budeg seolah tak mendengar apa diperintahkan. Bolot malah justru menanggapi lain. "Iyya, bu juragan ya, penjual di kedai depan itu, anaknya cakep bu ya", jawab Bolot. Lantaran bicaranya tak nyambung, Bolot pun dapat jewer dari juragannya.

***

Personifikasi khas Bolot seperti itu, seolah menyindir prilaku banyak orang diantara kita. Banyak kisah terjadi, menjadikan fakta yang sulit untuk diingkari. Satu sisi kita sering-sering menghindar dari tugas, kerja dan tanggungjawab, tapi soal harta, serta satunya lagi godaan wanita cantik, banyak diantara terjerembab kedalamnya. Dan fenomena kehidupan nyata seperti itulah kira-kira yang hendak "disatire" oleh Bolot. "Saya mengambil personifikasi khas seperti itu, tak lain karena personifikasi orang-orang macam seperti itu, cukup banyak ada di sekeliling kita, sebagaimana banyak fakta-faktanya dalam kehidupan sehari-hari. Disuruh kerja ogah, ditawari duit dan wanita cantik, semua rebutan", jelas Bolot secara kelakar saat wawancara salah satu siaran infotainment. "Artinya, aku gak nyindir siapa-siapa khan?", lanjutnya. Kenapa begitu, sudah demikianlah fenomena sejak awal manusia didatangkan mengisi muka bumi ini. Meski tidak dalam konteks yang sama, kisah Nabi Adam dan Hawa adalah sebuah misal. Dan terkhusus bagi masyarakat Indonesia, kisah antara harta dan asmara yang berakhir tragis, sileweran banyak ditemukan dalam cerita rakyat. Nyaris semua daerah di nusantara ini memiliki cerita dan roman seperti itu. Dan paling mutakhir --- tanpa maksud sok suci untuk membebaskan diri, apalagi ada maksud menuding siapa-siapa --- tapi mengingat-ingat pemberitaan media beberapa tahun terakhir. Betapa banyak kisah seperti dipersonifikasikan Bolot, nyata terjadi "kecelakaan" dalam kehidupan sekeliling kita. Kisah mantan Ketua KPK, Antasari Ashar dengan wanita cantik berprofesi "caddy", Rani Juliani, satu diantaranya. *** Fenomena kehidupan seperti itu, mengingatkan saya pada sebuah kisah. Di sebuah kampung, hiduplah Pulan bersama isteri. Suatu hari Pulan mencari kayu bakar di hutan. Kampaknya terlempar, tenggelam ke dasar sungai yang dalam. Ia berdo'a mohon pertolongan. Muncullah Dewa. "Apa bisa saya bantu?", tanya Dewa. "Mohon bantu ambilkan kampak saya yang tenggelam di dasar sungai itu", kata Pulan. Dewa menyelam lalu muncul membawa kampak emas. "Apa ini kampakmu?", tanya Dewa. "Bukan, kampak saya kampak biasa", jawab Pulan. Dewa menyelam lagi, lalu muncul membawa kampak sederhana. "Apa ini kampakmu?", tanya Dewa. "Iya, itu kampak saya", jawab Pulan. Karena kejujuran Pulan, Dewa selain memberi Pulan kampak miliknya, juga memberi Pulan kampak emas yang ditemukan sebelumnya. Pada kesempatan lain, isteri Pulan hanyut terbawa arus sungai. Kembali ia berdo' a. Dewa pun muncul lagi. "Apa lagi bisa saya bantu Pulan?", kata Dewa. "Ambilkan isteri saya yang hanyut di sungai", kata Pulan. Dewa mencari dan pulang membawa seorang bidadari cantik. "Apakah ini isterimu Pulan?", tanya Dewa. Sontak Pulan menjawab, "Iya benar, itu isteri saya". Dewa marah, karena Pulan mulai tak jujur lagi. "Kenapa ini kali kau tak jujur Pulan?" tanya Dewa. "Kalau saya berkata jujur, jika bidadari cantik itu bukan isteri saya, takut kalau Dewa pergi lagi lalu menemukan isteri saya, lalu kedua-duanya Dewa serahkan pada saya seperti kampak itu. Maka tentu saya jadi kerepotan dengan dua isteri. Selain saya sudah tua, juga saya ini orang miskin, tidak sanggup membiayai dua isteri", tepis Pulan sedikit berdiplomasi. *** Ternyata tawaran kilauan harta, seperti kilauan kampak emas, Pulan masih bisa menunjukkan kejujurannya, tapi ketika mulai memasuki babakan tawaran bidadari cantik, Pulan pun tak lagi bisa tahan godaan. Ia mulai berbohong, meski dilapisi diplomasi tinggi. Pulan mengaku kalau tawaran bidadari cantik dari Dewa, adalah isterinya, padahal isteri Pulan sebenarnya hanyut terbawa derasnya arus sungai. Tapi itulah kenyataan dialami Pulan, persis sama seperti dipersonifikasikan Bolot dalam setiap kali lawakannya. Sebuah satire fakta kehidupan banyak terjadi. Bahkan mungkin satu diantaranya, adalah diri kita sendiri. Makanya, menyaksikan lawakan Bolot, saya hanya bisa senyum geli dan terangguk-angguk sendiri. Sebab menertawai lawakan Bolot --- tidak lebih kurang --- sama saja kita menertawai diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun