Oleh Armin Mustamin Toputiri
"Paggolo Lemo!". Demikian dulu sering-sering saya mendengar para pengamat bola di kampung memberi julukan pada salah satu kesebelasan yang tampil di lapangan dengan hanya mengandalkan kemampuan fisik, bukan pada skill. Dimana bola bundar berada, disitu pulalah kerumunan para pemain ber-gerombol sambil dorong-dorongan adu fisik memperebutkan bola. Bagai memperebutkan sebiji jeruk bundar besar dan teramat berat, dimana dulu di kampung sebelum bola kaki yang ada seperti dikenal sekarang ini, buah jeruklah yang dijadikan sebagai bola kaki dalam permainan sepakbola.
Di era kecanggihan teknologi sekarang ini, pada saat buah jeruk tidak lagi dijadikan bola kaki, tetapi sejumlah pemain sepakbola di kampung masih saja tetap tampil dengan pola permainan lama. Pada saat itulah pengamat bola ala kampung, coba mengajukan analisis tentang kekalahan salah satu tim yang diunggulkannya. Ia mengumpat mati-matian karena para pemain tampil tanpa strategi dan taktik sebagai siasat. Semua hanya bergerombol memperebutkan bola, karena kesemua-semuanya berkeinginan mencetak gol, hanya dengan satu target untuk tampil sebagai pahlawan secara individuil.
Para pemain tidak disiplin mempertahankan posisi masing-masing, sehingga luas serta lebar lapangan tidak terfungsikan secara maksimal. Banyak lini dan ruang yang kosong karena ditinggal pemiliknya, sehingga memungkinkan pihak lawan memiliki ruang lapang untuk melakukan serangan balik. Sudah seharusnya mereka memahami bahwa sepakbola adalah permainan tim. Makanya komposisi serta personalia masing-masing tim, adalah suatu yang mutlak diformasi sejak awal. Selain tujuannya untuk berbagi tugas menjawab suatu kebutuhan, sekaligus untuk mengatur irama permainan secara konfrehensif.
Bergerak maju tidak selamanya untuk menyerang, tetapi juga dengan target mendorong mundur serangan lawan. Bergerak mundur tidak selamanya untuk bertahan, tetapi juga siasat untuk menciptakan perangkap bagi lawan, sehingga terbuka ruang untuk melakukan serangan balik. Pada kondisi demi-kian posisi gelandang tengah memiliki arti dan peran untuk mengatur irama permainan, menyuplai bola dengan memanfaatkan seluruh personalia tim yang dimilikinya sesuai kedudukan, lini dan fungsinya masing-masing, agar luas serta lebar lapangan termaksimalkan, sehingga kesempurnaan permainan dari lini ke lini dapat ditampilkan dengan performa yang indah dan menawan. Kemenangan yang menjadi tujuan akhir, pula dapat diraih.
***
Tampilan setiap kesebelasan, lasimnya menganut formasi 4-4-2, 4-3-2-1, 4-5-1, 3-4-3 dan 3-5-2. Maksud formasi ini menjadi wajah dan karakter dari pola, irama dan kombinasi setiap kesebelasan yang akan tampil berdasarkan skill individu para pemainnya untuk menghadapi lawan tandingnya. Dan formasi model permainan sepak bola seperti ini, oleh Marcello Lippi (mantan pelatih kesebelasan Juventus yang menghantarkan tim "Gli-Azzurri" Italia menjuarai Piala Dunia 2006), mengakui bahwa strategi dan taktik permainan bola yang dipraktekannya selama ini, sebagian besar bersumber dari pelajaran taktik-strategi politik dan perang militer.
Taktik dan strategi --- baik dalam praktek politik, lebih-lebih dalam praktek perang militer --- soal formasi menjadi mutlak. Salah satu keberhasilan Jerman pada Perang Dunia II menguasai Polandia dan Perancis, adalah karena kemampuan Adolf Hitler mengatur formasi kekuataan militer yang dimiliki Jerman saat itu, sehingga strategi "Blitzkrieg" (Perang Kilat) yang diterapkannya memiliki nilai efektifitas tinggi. Demikian pula terjadi pada Perang Afghanistan (1994-1996), dimana gerak cepat yang dilakukan kelompok Taliban, mampu merebut 80 persen wilayah Afghanistan dari tangan pemerintah. Begitu juga formasi apik serta gerak cepat sekutu membebaskan Kuwait pada Perang Teluk I (1991), Operasi Enduring Freedom 2001 ke Afghanistan, serta operasi sekutu dibawah pimpinan Amerika yang menginvasi Irak tahun 2003.
***
Kesuksesan permainan dan peperangan menurut analisis pengamat bola ala "paggolo lemo" di kampung, memang tidak bisa dilepaskan dari grand schenario, strategi dan taktik yang terukur dan terjamin. Dan paling mendasar adalah adanya formasi, komposisi dan personalia sesuai skill individu masing-masing untuk tampil bermain secara tim, sehingga semua lini bergerak secara linier dan simultan. Jika situasi dan kondisi menuntutnya, mungkin tidaklah keliru kalau strategi "Blitzkrieg" sebagaimana dipraktekkan Hitler semasa Perang Dunia II, ikut pula dipraktekkan.