[caption id="attachment_334563" align="alignnone" width="339" caption="Photo: toonpool.com"][/caption]
Oleh Armin Mustamin Toputiri
Malam kemarin, di salah satu hotel, saya ikut hadir di acara yang diselenggarakan salah satu instansi pemerintah, diantara sekian mata acara, juga ada acara penyerahan cinderamata pada penulis, katagori pelajar, mahasiswa, dan pewarta yang memenangi lomba penulisan untuk program unggulan di instansi “plat merah” itu. Saya bersama dua orang kolega kerja, diberi penghormatan untuk menyerahkan cinderamata berupa hadiah kepada pemenang lomba.
Ketika menyerahkan hadiah kepada pemenang, di benak saya terbersit ajaran yang pernah disampaikan kiyai saya ketika puluhan tahun lalu ikut “mondok” di salah satu pesantren. “Andaikan mungkin ada rasul setelah Muhammad SAW, maka para penulis adalah nabi-nabi itu”, jelas kiyai saya. “Andai masih ada wahyu diserahkan selain kepada para rasul, maka penulislah penerima wahyu itu”, lanjutnya. “Dan andai masih ada ayat-ayat berupa firman yang ingin dituliskan di kitab suci, maka tulisan para penulis itu adalah firman-firman-Nya”, kunci kiyai.
Setelah acara di hotel itu pun bubar, saya melanjutkan ngopi dan ngobrol dengan salah seorang pemenang lomba penulisan itu. Pesan kiyai saya itu, saya sampaikan padanya. Harapan saya agar dia mengerti bahwa keterampilan menulis dimilikinya, adalah anugerah Tuhan yang sangat luar biasa. Tidak semua orang dianugerahi kemampuan seperti itu. Makanya, saya berharap agar anugerah dititipkan Tuhan padanya tidak ia sia-siakan. Teruslah menulis. Soal apakah ada yang membacanya atau tidak, serahkan saja pada Sang pemberi anugerah.
Hingga batas pemahaman itu, sontak terlintas bayangan sahabat saya almarhum Asdar Muis, seorang esais Makassar yang beberapa hari lalu menghembuskan nafasnya yang terakhir. Suatu waktu ia berkeluh kesah ingin segera menghentinkan rutinitas hariannya, menulis esai di akun facebook miliknya. Ia mengaku jenuh. Merasa kecewa karena dianggapnya tidak ada teman FB yang membaca tulisan-tulisannya. Mendengar keluhannya, tanpa etika lagi, saya katakan padanya; “kalau mau menulis karena menunggu dibaca orang lain, saya harap Anda berhenti saja menulis”.
Sehari setelah saya protes, esok pagi dan selanjutnya, ia tetap rutin mengisi halaman facebooknya dengan aneka tulisan. Maka ketika ia meninggalkan dunia fana ini, Senin 27 Oktober 2014, meski wujud fisiknya telah pergi selamanya, tetapi tulisan-tulisannya, tetap saja dinikmati untuk menginspirasi banyak orang. Menjadi amal jariyah baginya. Seperti diriwayatkan dalam hadits, “Jika seseorang meninggal dunia, maka putuslah pahala baginya, kecuali; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak(nya) yang saleh mendoakannya.
Itu sebabnya sehingga saya percaya, bahwa sekian anak muda yang malam tadi menerima cinderamata hadiah atas kemenangannya dalam lomba penulisan, kelak menjalani kehidupan sama seperti sahabat saya almarhum Asdar Muis, bahwa sepanjang ia mampu merawat anugerah keterampilan menulis dititipkan Tuhan padanya, terus menuliskan kebaikan, maka tak sadar ia telah menyiapkan amalan jariyah bagi dirinya. Kelak akan menikmati amal pahala sekalipun nanti ia telah meninggalkan dunia, karena mereka itu para pewaris nabi.
Makassar, 10 November 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H