[caption caption="Photo: LIGHT Photography"][/caption]
Presiden RI, Joko Widodo, sekali lagi mengajukan pasal tentang penghinaan presiden dalam revisi UU KUHP, sebagaimana disodorkan Menkumham, Yasonna Laoly, ke DPR-RI. Padahal pasal tentang penghinaan presiden itu, di masa pemerintahan SBY pernah dibatalkan, serta di tolak pengaktifannya kembali oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006. Namun entah didasari pertimbangan apa, pasal kontroversial itu, kembali disodorkan pemerintah.
Dalam RUU KUHP itu, pada pasal 263 ayat 1, pemerintah menyodor rumusan, bahwa “setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. Sedangkan ruang lingkup penghinaan presiden dijabarkan di pasal 264, bahwa “setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menenpelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum...”
Pasal ini selanjutnya mengatur; “… atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. Kedua pasal ini menurut pakar hukum, Yusril Ihza Mahendra, tidaklah sama dengan teks “Wetbook Van Strafrecht”.
Teks asli KUHP warisan Belanda, dulu memang ada diatur tentang pasal penghinaan Kepala
Pemerintahan Negara, Ratu atau Gubernur Jenderal Belanda, yakni bahwa menghina Kepala Pemerintahan Negara tidak masuk dalam delik aduan, sehingga pelakunya langsung dikenai hukuman penjara tanpa didahului proses peradilan. Itu sebab, MK membatalkan aturan itu. Argumen MK sederhana, semua warga negara memiliki kekuatan yang sama depan hukum.
Maka ketika pemerintahan Jokowi-JK, kembali menyodorkan pasal tentang penghinaan itu dalam RUU KUHP, publik tentu kembali bertanya-tanya, apakah pemikiran sebenarnya yang mendasari pemerintah sehingga “menghidupkan” kembali pasal yang telah “dimatikan” MK tahun 2006 lalu. Apalagi putusan MK bersifat final. Sebab itu, sekian pihak menuding bahwa Jokowi ingin melindungi kekuasaan pemerintahannya dalam suatu kekuatan rezim otoriter.
Atas cara pandang seperti itu, sekian Anggota DPR-RI, sejak mula menyatakan akan menolak pasal tentang penghinaan presiden dan wakil presiden untuk dimasukkan dalam RUU KUHP. Wakil Ketua DPR-RI, Fadli Zon, menilai pasal dimaksud sebagai tameng pemerintahan Jokowi untuk membungkam para pengkritik presiden. Tapi Yasona Laoly menampik bahwa pasal itu tidak ditujukan pada pengkritik, tapi menjurus pada “penghina pribadi” presiden atau wakil.
Sementara itu, mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono mengemukakan pendapatnya bahwa hukum harus bisa menyelesaikan soal penghinaan presiden. Ia menyetir adagium dari Cicero sang filsuf Romawi, “jika hukum tak bisa bicara, senjata yang akan bicara”. Tapi pandangan Marcus Tullius Cicero itu, sejak mula di belakangi ratusan filsuf. Makanya paham demokrasi hadir sebagai jalan tengah. Rakyat pemilik sah negara. Berhak mengkritik pengelola negara.
Makassar, 12 Agustus 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H