Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Merokok: Membunuh Sebelum Dibunuh

21 Agustus 2014   10:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:59 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14085661061982695402

[caption id="attachment_320203" align="alignnone" width="700" caption="photo: tribunnews.com"][/caption]

“Merokok Membunuhmu”. Seperti itulah kalimat tertulis di setiap kemasan rokok. Bahkan pesan seperti itu, wajib diikutsertakan oleh produsen rokok dalam setiap pemasangan iklan produknya di media massa dan arena publik lainnya. Dan kalimat seperti itu, sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk mengajak para perokok untuk mau menghentikan ataukah setidaknya mengurangi kebiasan merokok. Tapi belakangan, pemerintah lagi-lagi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan, yakni kewajiban memasang gambar “seram” pada setiap kemasan rokok.

Akibat dari aturan yang diberlakukan sejak 24 Juni 2014 itu, sejak itulah setiap kemasan rokok hampir setengah bidangnya (muka dan belakang) ditempeli gambar menyeramkan, sekaligus dibubuhi kalimat pendek, selain tulisan “merokok membunuhmu”, juga wajib ditulisi “larangan menjual dan memberikan rokok kepada anak di bawah usia 18 tahun serta perempuan hamil”. Pada sisi kemasan lain, juga wajib dicantumkan teks ”mengandung lebih dari 4.000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 43 zat penyebab kanker”. Jika Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menemukan kemasan tidak mematuhi aturan itu, produsen dikenakan denda 500 juta.

Sejujurnya saya agak kurang paham, apa jalan pikiran pemerintah sehingga mengambil langkah untuk meningkatkan bentuk “teguran” bagi para perokok, sekalipun tidak secara langsung pada konsumen, tetapi melalui kemasan produk rokok. Pikiran sederhana saya mengatakan bahwa mungkin peringatan melalui pesan pendek “merokok membuhmu” seperti yang diberlakukan sebelumnya, dinilai tidak efektif, tidak tepat sasaran dan sesuai capaian target, sehingga lebih ditingkatkan lagi melalui “penampakan” gambar-gambar menyeramkan tentang resiko penyakit yang diakibatkan dari kebiasaan merokok, penyakit kanker paru dan tenggorokan misalnya.

Belakangan setelah saya melakukan penelusuran melalui dunia maya, akhirnya saya temukan bahwa aturan pemasangan gambar “seram” seperti itu, sebenarnya bukanlah murni gagasan orisinil dari pemerintah Indonesia, tetapi berupa “saduran”, seperti lebih awal diberlakukan di sejumlah negara. Kompas.com (6/10/2010) mengutip ucapan Domilyn Villarreiz dari Southheast Asia Tobacco Control Alliance yang mengatakan bahwa sudah ada lebih dari 40-an negara telah memberlakukan aturan seperti itu. ”Semakin gambarnya besar, akan semakin lebih mudah terlihat dan efektif, terutama bagi mereka yang tidak dapat membaca”, ujarnya.

Lahirnya kebijakan baru “pictorical healt warnings”, untuk meningkatkan kewaspadaan dini para perokok dari risiko bahaya kesehatan merokok, tentu saja adalah langkah yang tepat, guna melindungi kesehatan masyarakat, sekalipun faktanya di lapangan berkata lain. Seperti sama diketahui dan saksikan, sekalipun tulisan bahaya merokok, bahkan sudah ditingkatkan melalui gambar seram, tetapi para perokok seolah tak peduli, atau setidaknya pura-pura buta huruf tidak tahu membaca, atau sekarang pura-pura buta tidak melihat gambar. Ataukah sekalian coba melupakan risiko kesehatan bakal dilahirkan dari kebiasaan merokok.

Sebagai salah seorang yang punya kebiasaan merokok, maka hadirnya kebijakan “pictorical healt warnings”, tentu saja menjadi sebuah tantangan yang maha berat. Saya menyadari jika perokok memang telah dijadikan musuh bersama, sehingga tak hentinya dicarikan jalan untuk dikepung secara massal dalam rangka mempersempit ruang geraknya. Seluruh ruang ber-ac, fasilitas umum serta tempat-tempat khusus lainnya, diberlakukan larangan merokok. Belum lagi ditempatkannya para perokok di ruang khsusus yang terisolasi. Bahkan ada sekian daerah, telah menerbitkan Perda Khusus larangan merokok disejumlah tempat umum dan khusus.

Berada dalam situasi seperti itu, dalam benak saya selalu muncul pikiran lain, andai jika karena merokok memang sangat berisiko pada kesehatan, seperti dikatakan Paul Billings dari American Lung Association yang dikutip Kompas.com (15/9/2010), bahwa rokok terus membunuh sekitar 393.000 orang di Amerika Serikat setiap tahunnya, lalu kenapa kita menghabiskan energi untuk membuat berbagai aturan-aturan semu atau baku tentang pelarangan merokok. Padahal jalan pikiran paling sederhananya, jika mau menghentikan para perokok dari kebiasannya merokok, cukup pabrik rokoknya dilarang berproduksi atau tutup selamanya, maka selesailah semuanya.

Sedemikianlah cara pandang lain yang selalu hadir dalam benak saya. Semakin kebijakan baru peringatan risiko merokok dihadirkan, sebaliknya benak saya semakin hadir cara pandang lain. Hadirnya kebijakan baru, “pictorical healt warnings” yang didasari PP 109/2012, cara pandang lain saya justru mengatakan sebuah kebijakan setengah hati. Saking kuatnya arus pandangan lain dalam benak saya, sehingga lahirlah pertanyaan baru. Manakah yang sebenarnya setengah hati, apakah pemerintah yang tahu jika rokok adalah racun tapi tetap dibiarkan diproduksi, atukah para perokok yang memang setengah hati, sudah tahu racun tapi tetap saja dihisap.

Jalan pikiran lain dalam benak saya membayangkan seolah berhadapan dilema memakan buah simalakama. Membiarkan para perokok sebebasnya merokok, sama saja melakukan pembiaran hadirnya racun yang membawa penyakit. Sementara mengambil sikap ekstrim melarang pabrik rokok memproduksi atau sekalian menutup pabrik rokok, adalah sama saja menutup kran pintu masuknya pendapatan negara dari cukai rokok. Di Indonesia misalnya, sebagai peringkat ketiga jumlah perokok di dunia (sekitar 65 juta orang), meraih penerimaan dari cukai rokok sekitar Rp. 70 triliun pada tahun 2011, bahkan mencapai Rp. 77 triliun pada tahun 2012.

Jika data disampaikan Abdillah Hasan dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI, seperti disampaikan pada Kompas.com (26/7/2012) ini dicermati, maka cukuplah dibayangkan betapa besar risiko kehilangan pendapatan negara jika jalan ekstrim ditempuh melarang berproduksi atau sekalian menutup pabrik rokok. Belum lagi menghitung ribuan karyawan pabrik rokok yang bakal menerima risiko pengangguran, sekalipun jika mau mengurut orang terkaya di Indonesia, peringkat teratas seluruhnya adalah pemilik perusahaan rokok. Sementara pemasukan cukai rokok, lagi hangatnya diperebutkan hitungan bagi hasil bagi daerah penghasil tembakau.

Sangat dilematis memang. Melarang enggan, membiarkan pun enggan. Silahkan saja Menteri Kesehatan melarang, tapi apakah Menteri Keuangan akan ikhlas. Itu sebabnya diksi tepat yang sering digunakan, “menurunkan” angka perokok, “mengurangi” kebiasaan merokok, serta ragam diksi lainnya untuk mempersempit dilema itu. Sama dilematisnya para perokok yang tak pernah lepas dari ragam dalih untuk menepis ajakan berhenti merokok. Mengingatkan pada kisah negarawan KH Agus Salim, saat penobatan Ratu Elizabeth II (1953) di Buckingham Palace, ia menghampiri Pangeran Philip sambil menghembuskan asap rokok “paatje” dan mengatakan, “Bau inilah yang menyebabkan bangsa Paduka menjajah negeri saya selama 300 tahun”

Sama pula dalih disampaikan seorang kolega saya, “Merokok membunuhmu, maka sebelum rokok membunuh saya, lebih awal saya akan membuhnya”, jelas kolega saya sesama perokok sambil memperlihatkan cara membunuh rokok yang ia maksud. Ia membeli kotak penyimpan rokok, batang-batang rokok yang dibeli dipindah ke dalam kotak. Kemasan rokok yang tertulis “Rokok Membunuhmu” serta dilumuri gambar seram, dibuang ke tong sampah. Setelahnya ia bebas merokok sesuka hati, tanpa perlu dibebani lagi pesan kalimat pendek dan gambar yang seram. Kalau demikian, lalu dimanakah letak efektifnya pemberlakuan PP 109/2012 ? Hmm…

Makassar, 21 Agustus 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun