[caption id="attachment_318303" align="alignnone" width="1024" caption="Rakyat suriah meninggalkan negerinya akibat gejolak perang saudara (photo: Reuters)"][/caption]
Ramai perbincangan dan pemberitaan tentang ISIS (Islamic State Is Solution), atau kelompok militan yang dikenal sebagai pejuang Negara Islam Irak dan Suriah, tiba-tiba saja kembali mengingatkan saya pada kisah setahun lalu ketika menolong seorang keluarga asal Republik Arab Suriah. Tapi saya berkeyakinan bahwa keluarga asal Suriah yang pernah saya tolong itu bukanlah pengikut ISIS. Meninggalkan negerinya, Suriah, dan memilih sementara waktu berada di Indonesia hanya karena menghindari perang saudara yang bergejolak di sana.
***
Siang itu saat saya bersama sejumlah kolega kerja mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. Ketika menunggu jemputan di ruang tunggu terminal F-1, saya mencermati seseoraagai ng yang berpostur tinggi, tegak dan bertampang Arab, sejak awal kedatangan kami di area parkiran itu, saya mencermatinya seperti sedang kebingungan. Banyak orang yang lalu lalang coba ia tanyai, tetapi selalu saja menampik dan mengangkat dua telapak tangan lalu meninggalkannya.
Selang beberapa waktu, ia juga datang menghampiri saya. Ia menanyakan sesuatu dengan bahasanya sendiri. Saaatnya saya bisa mengerti kenapa setiap orang yang ia tanyai selalu menampik dan meninggalkannya. Ternyata ia bukanlah penawar barang dagangan seperti saya duga, sebagaimana kerjaan sekian orang di area bandara, menjajakan aneka dagangan “imitasi”, seperti pulpen, parfum serta lainnya. Dugaan saya jauh meleset. Maafkan saya Tuhan atas kekeliruan dan kekhilafan saya memandang tata laku orang asing ini.
***
Orang asing ini menyapa saya menggunakan bahasa Arab khas Suriah (bahasa Arab Suriah; Aramaik, Armenia, Kurdi dan Turkmen). Pantas saja jika setiap orang yang ia tanyai selalu menjauh. Beruntunglah karena terakhir ia menanyai saya yang sedikitnya paham bahasa Arab, sekalipun pas-pasan. Ia hanya meminta diarahkan jalan menuju hotel --- "funduuk", istilah dia --- di Jakarta yang ia telah pesan via internet. Sekalian minta dihubungkan pada kerabatnya yang lebih awal ke di Indonesia. Sekian kali dihubungi tapi tak nyambung.
Setelah yakin jika saya akan menunjukkan alamat, bahkan berjanji akan mengantarnya ke hotel dimaksud, ia pun lega. Saatnya ia mengenalkan pada saya, isterinya yang cantik wajah khas Suriah serta tiga anaknya. Kami akrab berbincang jauh tentang konflik bersaudara yang sekian tahun bergolak di negeri bekas jajahan Perancis itu. IRC (International Rescue Committee) melaporkan, dari 19.405.000 penduduk, sudah 600.000 orang meninggalkan negeri beribukota Damaskus itu. Sementara PBB menduga sudah 60.000 orang wafat sejak Maret 2011.
***
Saat mobil jemputan saya dan kolega kerja datang, saya mengajaknya ikut serta. Bisa diterka sumpeknya muatan mobil Toyota Avanza itu. Saya bersama empat orang kolega, ditambah dirinya dan isteri, serta tiga anaknya. Belum barang bawaan tiga kopernya yang besar-besar. Seluruhnya menumpuk bersama koper saya dan kolega. Saya paham jika kolega saya agak terganggu, tapi mereka maklum. Saya katakan, apa salahnya membantu orang yang butuh bantuan. "Coba dibayangkan andai kita berada di negeri orang lalu mengalami nasib sama".
Tiba di hotel --- agar tak terjadi mis-komunikasi --- saya menuntunnya bernegosiasi petugas reseptionist. Ia coba membayar dengan mata uang Pund Suriah (SYP), tapi pihak hotel tak menerima. Begitupun US Dollar. Ia kebingungan. Agar pembayaran hotel bisa segera selesai, saya mengambil inisiatif menukar uang Dollar itu dengan Rupiah. Urusan pembayaran hotel pun selesai. Sekeluarga mengucap terima kasih. Setelahnya menyodori saya selembar kartu nama. Namanya Zakaria, seorang pengusaha terkemuka di negerinya, bukan pengkut ISIS.
***
Berpisah dengan mereka, di atas mobil saya merasakan adanya kepuasaan tersendiri telah menolongnya. Sontak mengingat pula pada peristiwa tiga tahun lalu ketika saya tersesat di Kota Paris, Prancis. Susahnya karena tak banyak orang mampu berbahasa Inggris, selain bahasa Prancis. Atas kuasa Tuhan, saat lelah dan mulai frustasi mencari jalan pulang, tiba-tiba saya berpapasan seseorang berwajah Asia. Ia asal Malaysia dan fasih berbahasa melayu. Orang inilah yang mengantar saya pulang ke hotel yang ternyata jaraknya sangat dekat.
Kolega saya dia atas mobil berkomentar. "Beruntunglah karena ketemu dengan Anda yang sedikitnya bias berbahasa Arab". Mungkin ada benarnya, karena orang-orang yang ia temui sebelumnya, ternyata para calo mobil “rental gelap” yang bersedia mengantarnya ke hotel dengan imbalan yang tak masuk akal bagi orang Suriah itu. "Orang yang tadi itu, pasti dia orang baik-baik di negerinya dan mungkin terbiasa menolong orang lain, sehingga saat ia susah, ia menemukan pertolongan dari orang lain", sambung kolega saya.
***
Saya hanya mampu tertegun mendengar apa kata kolega kerja saya itu. Juga saya tak ingin memberikan tanggapan balik, hanya bisa mengangguk-angguk sekadar untuk membenarkan karena saya pun pernah mengalami kejadian sama ketika tersesat di Kota Paris sana. Maka sudah benarlah kata bijak pernah disampaikan filosof, Imam al-Ghazali, bahwa; "Menanam padi pasti tumbuh rumput, menanam rumput jangan harap tumbuh padi". Saya berharap para pengikut ISIS juga bias memahami pesan ini agar tak memilih menanam rumput.
Makassar, 07 Agustus 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H