Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menembus Batas Terdalam Keraton Ngayogyakarta

18 Mei 2012   20:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:07 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13373722641864662462

[caption id="attachment_177872" align="aligncenter" width="620" caption="Penulis bersama Hamengku Buwono X di Keraton Ngayogyakarta (dok amt)"][/caption] Oleh Armin Mustamin Toputiri Jogya, Jogya, Jogya Istimewa, Istimewa Orangnya, Istimewa untuk Indonesia.. Setiap kali menginjakkan kaki di Kota Yogyakarta --- selanjutnya saya hanya menyebut “Jogya” saja, saya lebih senang menyebutnya seperti itu, sedikitnya lebih nge-jawa dalam original dialeg bahasa Jawa ---  saya merasakan ada nuansa yang lebih lain pada dari saya. Bukannya semata pada alur perasaan, tapi juga pada relung fikiran. Saya sendiri kurang mengerti dan terampil untuk menerjemahkannya dalam ungkapan kata-kata, sekalipun saya sadar sepenuhnya akan adanya nuansa itu. Sedikit egois memang, tapi setidaknya saya mampu mengungkapkan bagaimana keterpukauan saya pada cara orang-orang di Jogya bertuturkata dengan kalimat-kalimat pendek bernada lembut yang khas, mengalun dan mengayun. Bagaimana tatakrama orang-orang di Jogya begitu santunnya. Menyilahkan orang lain saja dilakoni dengan sedikit membungkuk. Belum lagi cara menunjuknya, tidak dengan jari telunjuk bagaimana biasanya, tapi dengan ibu jari yang sedianya memang digunakan untuk penghargaan pada orang lain. Konon, orang suku Jawa memang jauh lebih unggul keramahan dan sopan santunnya dibanding suku lain di nusantara. Kata orang, blankon yang menjadi penutup kepala ningrat Jawa, di bagian depannya memberi simbolisasi cinta, sekalipun di bagian belakangnya menggumpal. Suku lain nusantara, menaruh senjata tajamnya di depan, tapi orang Jawa menaruh kerisnya di belakang. Itu artinya orang Jawa lebih mengedepankan kedamaian. Seandainya kakinya terinjak, paling juga menegur orang yang menginjaknya, “Mas, tolong dong kakinya diangkat, sepatu saya masih mau dipakai”. *** Jogya memang istimewa, orang-orangnya juga memang istimewa. Sudah benar  syair lagu “Jogya Istimewa“ menukilkannya seperti itu. Juga tak keliru jika Jogya digelari “kota budaya”, sekalian juga tak salah jika menyebutnya “kota pelajar”. Tak lain karena --- tanpa ada maksud mau melebih-lebihkan --- orang-orang Jogya memang adalah orang-orang yang menyatu dengan kebudayaan dan keterpelajaran. Makanya jangan heran jika Jogya banyak melahirkan budayawan dan cendekia terpandang di negeri ini. Misal diantara yang banyak, ada Bagong Kasudiardjo, Afandi, Umar kayam, Rendra, Emha Ainun Nadjib, serta lainnya. Lahirnya orang-orang ungulan nusantara dari Jogya, tentu tak bisa lepas dari dua kutub keunggulan Jogya, antara ber-budaya satu sisi, dan ber-cendekia pada sisi yang lain. Dua kutub itulah yang menjadi substansi esensi kemanusiaan, antara rasa dan rasio, antara iman dan ilmu, lalu mengkristal dan mewujud dalam pola laku amaliah yang mencipta peradaban yang kelak menjadi tata nilai masyarakatnya. Itulah Jogya yang selalu menggoda untuk mencipta nuansa lain pada diri saya setiap kali berkunjung. Setiap sisi sudut kotanya, selalu ada relung-relung peradaban yang nikmat dan memberi arti pembelajar. Memiliki nilai dan arti. Dan entah kenapa saya selalu saja tergoda untuk menghayati dan memaknai kedua sisi itu. Saya menemukan visual Jogya --- dalam arti kebudayaan dan kecendekiaan --- pada seorang aktor tua teman diskusi saya di Jogya. Pada seorang perempuan muda yang lihai merajut perca, tetapi sisi lain goresan-goresan cerita pendeknya selalu saja menghiasi media nasional. *** Apapun tentang Jogya secara keseluruhannya --- berdasar pemahaman orang-orang di Jogya --- simpulnya ada di Keraton Ngayogyakarta. Dan pertengahan Mei 2012, saya menemukan simpul itu saat berhasil menembus batas terdalam bangunan keraton yang masih sangat sakral itu. Saya mendapatkan simpulnya pada “Ngarso Dalem” Hamengku Buwono X. Ia seorang Raja di saat Indonesia sudah merdeka. Seorang Raja tanpa singgasana Karajaan, tapi kursi kepala daerah. Raja dijunjung yang tak mau disanjung. Diposisikan di atas tapi memilih di bawah bersama rakyatnya. “Bangsa ini akan bisa lebih baik ke depan, jika kita semua menanamkan paham pada diri masing-masing, lebih mengedepankan ke-kita-an ketimbang ke-aku-an”, ujar Raja yang Agung itu dengan tutur bahasa dan tata kata yang sangat lembut khas dialeg Jogya. “Silahkan saja kita berbeda pendapat sebelum ada kata mufakat, tetapi jauhkanlah diri dari perbedaan jika kita telah bermufakat“, pesan Sang Pandito pada sejumlah orang diantara kami yang menemuinya sore itu di Puri Agung keraton yang sungguh sangat sederhana itu. Dan di saat meninggalkan kediaman --- melihat keserhanannya, kuranglah tepat menyebutnya sebagai istana --- Sang Pandito, saya tengah berpapasan dengan dua orang “abdi dalem”. Keduanya lagi-lagi memberi arti dan nilai pembelajar. Bagaimanakah mungkin mereka bisa betah menunaikan tugas sebagai pekerja keraton jika hanya diupah Rp. 7.500 perbulan. “Kami memang bukan pekerja, kami ini adalah abdi. Tugas kami hanya mengabdi, bukan bekerja. Hanya Allah Ta’ala yang tahu apa pahalanya serta bagaimana rejeki kami”, jelas seorang “abdi dalem” sedikit berfalsafah. *** Mendengar penjelasan “abdi dalem” melalui terjemahan seorang kolega kerja, saya hanya mampu tertegun. Dibenak saya terlintas bahwa syair lagu ”Jogya Istimewa” (seperti penggalannya dikutip di awal catatan ini) sudahlah tepat. Jogya memang benar-benar istimewa, orang-orangnya juga benar-benar istimewa, sekaligus istimewa untuk Indonesia. Jika seandainya orang-orang Indonesia mampu berpemahaman seperti para “abdi dalem”, orang-orang yang istimewa yang melakukan pengabdian secara totalitas itu, maka Indonesia pastilah ikut istimewa. “Lebih mengedepankan ke-kita-an dibanding ke-aku-an“, jelas “Ngarso Dalem”, Hamengku Buwono X. Makassar, 19 Mei 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun