[caption id="attachment_318038" align="aligncenter" width="530" caption="Photo: Widodo S Jusuf/Antara"][/caption]
Mengamati bagaimana sikap serta ucapan-ucapanMahfud MD --- dalam posisinya sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional Prabowo-Hatta --- di media massa di beberapa pekan terakhir, khususnya sejak 22 Juli 2014, pasca pleno KPU untuk menetapkan rekapitulasi suara nasional Pilres 2014, sontak mengingatkan saya pada kisah tertuang dalam film layar lebar yang diangkat dari kisah nyata tenggelamnya kapal Titanic di Samudera Atlantik Utara, 14-15 April 1912.
Sutradara kawakan James Cameroon, begitu dramatis menggambarkan peristiwa memilukan yang menelan korban 1.500 jiwa diantara 2.224 orang penumpang saat itu. Masih kuat melekat dalam ingatan saya gambaran bagaimana riuh kegaduhan penumpang yang saling sikut berebut mendapatkan pelampung atau naik ke sekoci yang persediannya terbatas guna menyelematkan diri dan keluarga masing-masing, menjelang kapal laut termewah zaman itu tenggelam.
Saya membayangkan Mahfud ikut berada di atas kapal Titanic dalam pelayaran perdana dari Sauthampton menuju New York City. Jelang kapal tenggelam, Mahfud pun ikut berebut untuk naik ke sekoci guna menyelematkan diri. Saya tidak melihat Mahfud untuk bergegas menuju ke anjungan, ikut bergabung dengan Kapten Edward Smith, sang nakhoda yang memilih karam ke dasar laut bersama bangkai kapal, ketimbang menyelematkan diri.
Sikap Kapten Edward Smith, ditempuh sebagai bentuk pertanggungjawaban dirinya sebagai seorang nakhoda. Tetapi sebaliknya, saya mengamati jika Mahfud sebagai sang nakhoda kapal Merah Putih yang mengangkut pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI, Prabowo-Hatta untuk menuju pulau harapan, malah justru ikut membocorkan kapalnya sendiri. Membocorkan hasil-hasil pertemuan rahasia, bahkan membocorkan kegaduhan para awak kapalnya sendiri.
Sebagai lelaki Indonesia asal Madura, Mahfud tentu tak asing lagi dengan dunia pelayaran, sehingga saat pelayaran yang dipimpinnya kali ini, Mahfud mestinya berpegang teguh pada prinsip seperti dianut para pelaut ulung di tanah Bugis-Makassar, “Takunjunga’ bangung turu’ nakuginciri’ gulingku, kualleang natallanga natoalia”, secara harfiah dipahamkan bahwa layar telah kukembangkan, kemudi telah kuarahkan, lebih baik tenggelam daripada pulang tanpa hasil.
Prinsip yang belakangan dijadikan motto ormas Pemuda Pancasila itu, sebenarnya tak lagi perlu diajarkan pada Mahfud, sebab sebagai lelaki Madura --- seperti masih tercermin pada dialeg dan karakteristiknya --- pada dirinya melekat prinsip yang teguh, memiliki keberanian untuk tangguh menghadapi gelombang. Integritas diri seperti itu, pada puncaknya dapat disaksikan ketika Mafud menakhodai Mahkamah Konstitusi RI.
Integritas diri seperti itulah yang kelak kian melambungkan nama Mahfud di pentas nasional, sekalipun sebelumnya ia sudah terlanjur popular. Baik saat menjabat Menhankam maupun lainnya. Popularitasnya dibuktikan sejumlah survey yang menempatkannya sebagai kandidat Presiden/Wakil Presiden dengan rating tinggi, namun karena PKB --- partai politik tempatnya berlabuh --- yang sejak awal mengadang-gadangnya, justru berbalik arah mengusung Jokowi-JK.
Mahfud, lagi-lagi, secara terbuka mengemukakan kekecewaannya, terutama ditujukan pada Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB. Saat di tengah puncak kekecewaannya itulah lamaran Prabowo datang, ia dipinang untuk menakhodai kapal koalisi Merah Putih. Tanpa perlu banyak timbang lagi, Mahfud menyanggupi. Hanya sekian bulan ia melayarkan kapalnya, tapi sebelum kapal merapat ke dermaga, Mahfud tak lagi mampu menyembunyikan kegoyahannya.
Kegoyahan Mahfud mulai nampak ketika hasil quick count diluncurkan. Sebagai seorang Guru Besar, tentu ia tak kuasa menampik hasil quick count yang berlatar akademik itu. Sekalipun ia masih sempat berdiplomasi untuk meyakinkan publik jika pasangan diusungnya masih unggul, tapi saatnya 22 Juli, sebelum KPU membacakan rekapitulasi suara 33 provinsi, ia menyatakan mengembalikan mandat dengan dalih bahwa dirinya telah menyelesaikan tugasnya.
Tugas dimaksud Mahfud hanya sebatas pemenangan, tetapi karena tak berhasil memenangkan pasangan Prabowo-Hatta, dirinya menyatakan berhenti untuk tugas itu, terserah siapa kelak yang akan meneruskan pelayaran itu hingga lempar jangkar. Menurutnya, jika pasangan ini masih memiliki agenda mengikuti proses selanjutnya, termasuk mengajukan gugatan sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK), ia menyatakan sudah tidak lagi memiliki kaitan sama sekali.
Atas sikapnya mengundurkan diri sebagai tebusan kekalahan, satu sisi perlu diberi apresiasi sebagai sikap gentelman. Sikap seorang lelaki Indonesia asal Madura yang punya keberanian dan integritas. Tapi sisi lain, sebagai seorang nakhoda, Mahfud mestinya meninggalkan kapal setelah pelayaran Tim Merah Putih telah berlabuh di dermaga. Menang ataupun kalah adalah soal target capaian, tapi membina kebersesamaan mengarungi samudera adalah soal prinsip.
Satu sisi, publik pun dapat memahami jika Mahfud ingin menjaga integritas diri sebagai mantan Ketua MK, seorang Guru Besar, maupun popularitasnya terhadap langkah yang mungkin dinilai “bodoh” ditempuh Prabowo-Hatta, tetapi sisi lain bahwa sikap Mahfud telah menoreh catatan hitam yang kurang baik, terlebih lagi karena pasca pengunduran diri, Mahfud banyak memberi komentar yang seolah membuka “aib” dan membocorkan kapal yang dinakhodainya sendiri.
Sekalipun dalam tulisan, “Pers Mengeroyok, Prabowo Harus Kalah” (Koran Sindo, 1/8/2014), Mahfud telah berdalih dan menjadikan pewarta sebagai kambing hitam yang ingin mengeroyok Prabowo-Hatta agar kalah, sehingga sengaja salah mengutip sekian komentarnya, tapi apapun dalihnya, “aib” dan kebocoran rapat rahasia terlanjur terbuka, tak lagi mampu ditutupi. Padahal sebagai mantan Menhankam, Mahfud tak perlu lagi diajari tentang fatsun dan moral politik.
Atas semua kenyataan itu, tak keliru jika mengingat kembali kisah awal Mahfud bergabung ke kubu Prabowo-Hatta, saat bersamaan dirinya memang tengah dirundung galau dan mencaci PKB telah “membohonginya”. Tapi apapun itu, Mahfud telah banyak memberikan nilai dan pembelajaran, bahwa integritas seorang pelaut ulung tak diukur disaat kondisi cuaca normal, tapi diukur justru saat ia berhadapan ganasnya gelombang dan badai. Sudah tepat pesan para orang bijak, “Tak akan lahir pelaut ulung di lautan yang tenang”.
Saya membayangkan jika Mahfud dipercaya menakhodai Titanic menyeberang menuju Madura, sebelum kapal merapat ke dermaga, karena terhalang cuaca buruk, jangan-jangan Mahfud lebih awal meloncat ke atas jembatan Suramadu, meninggalkan pra penumpang yang tengah histeris. Tapi illustrasi ini hanya sebatas bayangan saja, sebab bagaimanapun pelayaran Titanic kali ini adalah pelayaran perdana, Mahfud tentu juga memetik pelajaran untuk pelayarannya yang berikut.
Makassar, 04 Agustus 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H