Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konflik Partai Golkar

25 April 2015   22:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:41 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14299756051053250713

[caption id="attachment_362710" align="alignleft" width="650" caption="Ilustrasi: Ifoed/Indopos"][/caption]

OlehArmin Mustamin Toputiri

Sepanjang sejarah kelahirannya yang dibidani petinggi TNI Angkatan Darat, sejak 20 Oktober 1964, inilah kali pertama Partai Golkar (Golkar) berhadapan konflik internal. Selain berintensitas tinggi juga berkepanjangan. Tetapi sebagai fusi dari 291 organisasi golongan fungsional, partai yang terlanjur mensandarkan doktrinya mengabdi semata untuk kepentingan negara ini, memang tak bisa dilepaskan dari kisruh perbendaan pandangan. Terbukti sepanjang perjalanan, Golkar selalu diperberhadapkan pada situasi seperti itu. Namun setiapkali konflik itu datang, Golkar berhasil menaklukkannya dengan berujung indah.

Selebihnya karena partai yang dilahirkan sebagai penawar solusi karut marut perpolitikan tanah air di era orde lama, maka sejatinya setiap kali negara dirundung masalah, mestinya Golkar selalu berada di garda terdepan menjadi penawar solusi. Tapi kenyataan terjadi, ketika negara dirundung masalah seperti jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, disusul naiknya harga BBM dan kebutuhan pokok yang menjepit hidup rakyat, maka Golkar yang mendengungkan ”Suara Golkar-Suara Rakyat”, harusnya tampil di depan menjadi sumber solusi kepentingan rakyat, tetapi kenyataan sebaliknya terjadi, Partai Golkar justru dilanda konflik internal.

Kronologi Konflik

Seperti kenyataan terjadi saat ini, kepemimpinan pusat Partai Golkar terbelah dua. Keduanya bahkan sama-sama dihasilkan dari dua forum pengambilan keputusan tertinggi yang berbeda. Satunya bermunas di Bali, menghasilkan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum. Satunya lagi bermunas di Ancol, menetapkan Agung Laksono sebagai Ketua Umum. Namun disaat keduanya sedang mencari bentuk penyelesaian, intervensi pemerintah telah ikut campur ke dalamnya. Mengabaikan satu pihak, lalu memberi pengakuan pada pihak lain, yakni kepengurusan hasil Munas Ancol, meski Putusan Sela PTUN menunda pemberlakuan pengakuan itu.

Jika kasat mata dicermati, muasal konflik sebenarnya dipicu oleh keberbedaan sikap personil dan pimpinan pusat Golkar terhadap dukungan Capres dan Cawapres Pilpres 2014. Satu pihak, Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum, berdasar mandat diterimanya dari Rapimnas, ia memilih membawa dukungan kelembagaan Golkar kepada pasangan Prabowo-Hatta, sementara pihak lain yang dimotori Agung Laksono, memilih membawa dukungan personal mereka kepada pasangan Jokowi-JK.

Kedua pihak sama-sama memiliki dalih. Pihak Agung Laksono berdalih bahwa dirinya bersama sekian kader Golkar memilih menjatuhkan dukungan personal pada pasangan Jokowi-JK, karena Jusuf Kalla adalah kader Golkar, yang tak lain mantan Ketua Umum Golkar. Tapi dalih seperti itu ditepis Aburizal Bakrie, bahwa sebelum menjatuhkan dukungan pada pasangan Prabowo-Hatta, dirinya lebih awal telah menemui Jusuf Kalla. Tapi Jusuf Kalla menolak dukungan itu dengan alasan bahwa dirinya terlanjur terikat komitmen dengan Megawati, Ketua Umum PDI-P, bahwa dirinya terpilih jadi cawapres mendampingi capres Jokowi dalam statusnya seorang profesional.

Keberbedaan dukungan itu, membawa imbas pada keberpihakan pasca Pilpres. Aburizal Bakrie tetap konsisten membawa Golkar ke dalam gabungan koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta dalam Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai ”kelompok penyeimbang” pemerintahan. Sementara Agung Laksono juga tetap konsisten membawa dukungan personal sekian kader Golkar untuk sepenuhnya mendukung pemerintahan Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres 2014. Konsistensi sikap kedua pihak diambil karena kedua-duanya tetap pandangan yang berbeda.

Pihak Agung Laksono mendasarkan sikapnya pada pandangan bahwa Golkar memiliki tradisi sebagai partai pendukung pemerintah guna membangun bangsa secara bersama. Sebab itu, sejumlah kader Golkar di pihak Agung Laksono mengajukan argumen bahwa Golkar tak boleh ditempatkan sebagai penyeimbang apalagi menjadi oposisi pemerintahan. Di pihak Aburizal, sebaliknya berpandangan bahwa Golkar tidak pernah memiliki rumusan paham sebagai loyalis pemerintahan, karena asas Golkar adalah ”Benteng Pancasila” untuk mengabdi pada negara, bukan mengabdi pada pemerintahan sebagai ”Benteng Penguasa”.

Solusi Konflik

Jika ujung dari kronologis konflik Golkar didasari semata hanya karena perbedaan pandangan, sesungguhnya sangat mudah untuk menemukan titik tautnya, yaitu cukup kembali kepada rumusan dasar sejarah kelahiran serta kebijakan Golkar. Namun jika ditelusuri secara cermat, kedua pihak sepertinya terlalu sulit untuk mengelakkan diri, bahwa kisruh sebenarnya karena didasari kebutuhan suksesi kepemimpinan di tingkat pusat. Aburizal Bakrie ingin tetap bertahan menakhodai Golkar menuju periode kedua, sebagaimana dihasilkan Munas Bali. Sementara di kelompok Agung Laksono, terakumulasi sekian kader Golkar yang memiliki keinginan untuk memimpin DPP Golkar yang kemudian bersama-sama melaksanakan Munas di Ancol, sekaligus memutuskan Golkar sebagai partai pendukung pemerintah.

Berdasar uraian seperti itu, dapat disimpulkan bahwa konflik sebenarnya berwajah ganda, satu sisi karena kepentingan suksesi kepemimpinan, dan karena perbedaan pandangan pada sisi yang lain. Tapi di tengah konflik yang berlangsung, sepertinya terlanjur pelit lagi menemukan, apakah perbedaan kepentingan yang melahirkan perbedaan pandangan, ataukah sebaliknya perbedaan pandanganlah yang melahirkan kepentingan. Dan di saat kondisi pelit seperti itu, konflik semakin diperparah oleh campur tangan pemerintah. Bahkan terlibat membangun konspirasi dengan salah satu kelompok yang searah dengan kebutuhan pemerintahan. Pihak Aburizal Bakrie yang membawa Golkar bergabung di KMP sebagai kelompok penyeimbang, dianggap berbahaya bagi pemerintahan, maka pilihan terbaik dilakukan adalah mengakui dan mensahkan kepengurusan hasil Munas Ancol. Praktis hasil Munas Bali terkatagorikan illegal.

Jika kenyataan seperti itu dipahami secara utuh, maka kelirulah pandangan sekian pengamat yang terlanjur menyimpulkan bahwa Golkar di era reformasi selalu menempatkan diri sebagai partai pengemis kekuasaan. Padahal sebaliknya terjadi, justru pemerintahan seolah tak punya percaya diri tanpa dukungan Golkar. Terbukti pada Munas Bali 2004, ketika Akbar Tandjung ingin membawa Golkar sebagai penyeimbang, kepemimpinan SBY-JK memanfaatkan sembilan penjuru mata angin untuk menumbangkan kandidat kuat Akbar Tandjung lalu menangkan Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum, sehingga pada saatnya Golkar membatalkan keinginannya menjadi partai penyeimbang. Berbalik arah menjadi partai pendukung pemerintahan SBY-Kalla. Kejadian yang sama dilakukan Presiden RI, SBY terhadap Golkar pada periode kedua kepemimpinannya.

Dan ini kali pasca Pilpres 2014, Partai Golkar kembali diperhadapkan kisah yang nyaris sama. Pemerintahan Jokowi-JK berkehendak untuk memaksakan Golkar yang terlanjur berada dalam kelompok penyeimbang untuk beralih menjadi partai pendukung pemerintah melalui cara mengakui salah satu pihak, tetapi dihadapi internal Golkar dengan perlawanan cukup ketat. Itu sebab konflik internal Golkar berintensitas tinggi serta berkepanjangan. Akibat itu, di internal Golkar seolah tak lagi mampu menemukan, pada muara mana solusi ditemukan, karena ini kali bukan semata berhadapan konflik internal dari perbedaan pandangan golongan fungsional yang berhimpun di dalam Golkar, tetapi juga berhadapan dengan campur tangan eksternal. Yakni pemerintahan yang sedang berkuasa.

Satu-satunya jalan bisa ditempuh, yakni mengharap kearifan para kader Golkar --- meskipun kearifan dalam dunia politik praktis sangatlah berat --- untuk mengurai, yang mana kepentingan personal sesaat sekian kader karena ingin berkuasa di partai, serta yang manakah kepentingan jangka panjang untuk keberlangsungan eksistensi Golkar. Jika kepentingan sesaat, dikembalikan saja kepada para pemegang kedaulatan sebagaimana secara jelas di atur dalam AD dan ART Golkar, bahwa kedaulatan tertinggi ada apada pemilik hak suara, bukan pengakuan pemerintah. Dan untuk kepentingan kelembagaan Golkar secara jangka panjang, seluruh komponen internal Golkar harus kembali mendasarkan sikap dan pandangannya pada idiologidan doktrin Golkar, yakni mengerahkan segenap potensi dimilikinya hanya untuk rakyat, bangsa dan negara. Dan pemerintahan yang berkuasa juga harus punya moral yang sama dengan pemahaman itu, sebab sejatinya pilar demokrasi ada di partai politik. Makanya partai politik janganlah di obok-obok.

Makassar, 25 April 2014

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun