[caption id="attachment_352991" align="alignleft" width="638" caption="photo: merdeka.com/sholeh"][/caption]
Oleh Armin Mustamin Toputiri
Sejak memanasnya suhu politik pencalonan Budi Gunawan menjadi Kapolri yang kemudian ditersangkakan oleh KPK, Presiden RI, Joko Widodo, memilih untuk menjadikan Istana Bogor sebagai kantor kedua selain Istana Merdeka. Sekretaris Kabinet, Andi Widjajanto, menjelaskan bahwa presiden tidak bermaksud lain, semata karena presiden merasa nyaman suasana Istana Bogor, terutama ketika bertemu sejumlah pihak berkepentingan.
Istana Bogor sendiri dibangun oleh Gubernur Jenderal Belanda, Gustaaf Willem Barron Van Imhoff, pada abad 18 (Agustus 1744), memang ditujukan untuk maksud itu, semacam wisma peristirahatan untuk melepas penat. Itu sebab bangunan yang meniru arsitektur “Blainheim Palace” di Oxford yang dinamai “Buitenzorg”, berarti bebas dari masalah atau kekhawatiran. Itu sebab Soekarno menjadikan Istana Bogor tempat “mencumbu” para isterinya.
Kemudian Presiden RI ke-7 memilih untuk berkantor dan kadang bermalam di Istana Bogor, dipahamkan berbeda sejumlah pengamat sebagai bentuk pelarian Jokowi untuk mengindar dari ragam “intervensi” sejumlah pihak terhadap tata kelola pemerintahannya. Pemahaman pengamat berangkat dari sekian fakta. Paling mutakhir, soal penunjukan calon Kapolri, Budi Gunawan, yang kata Syafii Ma’arif seusai bertemu Jokowi, itu bukan kehendak Jokowi.
Tak sebatas itu, mulai penunjukkan personil Kabinet Kerja hingga penunjukkan Jaksa Agung, bahkan soal kontrak kerja pengembangan Mobil Nasional dengan Perusahaan Mobil Proton Malaysia yang melibatkan Hendropriyono. Berdasar sekian fakta itulah, publik mencurigai Jokowi “boneka” Megawati, meski Puan Maharani menepisnya sebagai hal yang wajar karena Jokowi adalah kader dan petugas partai, yakni PDI-P yang diketuai Megawati.
Tudingan pengamat berdasar fakta-fakta bahwa Jokowi adalah “boneka” Megawati (PDI-P), menjadi lebih nyata karena inilah kali pertama NKRI memiliki seorang presiden yang bukan ketua partai politik, atau sekurang-kurangnya bukan orang yang memiliki otoritas yang kuat di partai politik yang mengusungnya. Sebab itu, kebijakan ditempuh Jokowi berdasar arahan partai pengusungnya, satu sisi dinilai “intervensi”, dan “boneka” di sisi lain.
Tudingan “boneka” bahkan makin menguat karena karakteristik kepemimpinan Jokowi yang beralaskan tradisi Jawa, terutama Solo, yang diketahui lembut dan santun, demikian halnya pola pencitraan “ndeso” yang selama ini digunakan, sehingga pengamat menyimpulkan jika Jokowi terlalu lugu dan mudah dipengaruhi. Apalagi jenjang karir politik Jokowi, sangat asing untuk tahu serta paham bentul kebijakan nasional di puncak piramida.
Bahkan satu sisi yang luput dari pencermatan, karena karir politik Jokowi menakhodai negeri ini cukup fenomenal. Ia datang dari Solo, hanya sebentar bermukim di Jakarta lalu terpilih menjadi Presiden RI. Makanya Jokowi tak memiliki “istana pribadi” seperti; Cendana, Patra Kuningan, Ciganjur, Kebagusan dan Cikeas. Akibatnya kebijakan dirancang di Kebagusan. Jokowi bertugas menjalankan. Agar tak bulanan jadi “boneka”, Jokowi menepi ke Bogor.
Makassar, 25 Februari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H