Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan Tercecer Pasca Pilpres 2014 (11)

27 Juli 2014   09:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:03 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14064043511096532665

[caption id="attachment_316938" align="alignnone" width="603" caption="Photo: merdeka.com"][/caption]

Dua Wajah di Akhir Pertarungan

Memasuki gelanggang pertarungan --- secara normatif --- sejak awal bisa diduga, ujung akhir dihasilkan, kalah atau menang. Implikasi langsung atas konsekuensi itu, mengguratkan dua wajah. Kalah bersusah hati, menang bersuka ria. Pemenang Pilpres 2014 (versi putusan KPU) Jokowi-JK menyongsongnya melalui victory speech. Menyampaikan kata-kata lazim bagi pemenang, “Ini kemenangan rakyat. Satu jari dan dua jari telah usai, saatnya salam tiga jari”.

Sementara pihak yang kalah (juga versi putusan KPU) Prabowo-Hatta, “belum mengakui” kekalahan. Dikatakannya, ia ingin menempatkan suara rakyat pada tempat yang agung. “Soal menang ataupun kalah, harus diraih tanpa kecurangan”. Pihaknya menempuh satu jalur lagi. Menitip harapan secara konstitusional melalui jalur MK. Tapi jalur sah yang ditempuhnya menuai sorotan negatif dari pihak lawan, bahkan mungkin sudah ada dari pihaknya sendiri.

Sorotan negatif, caci dan makian satu sisi harus dimaklumi. Tetapi memaksa mundur setelah quick count padahal putusan KPU belum ada, bukanlah sikap yang benar. Menempuh jalur di MK setelah putusan KPU ada, juga butuh pemakluman. Menerima kekalahan memang tak semudah mengucapkan. Makanya sepanjang ada jalur tersisa yang masih bisa ditempuh, tetap akan coba dilalui, sekalipun diketahui bahwa meraih keadilan di jalur MK sangatlah musykil.

Membawa sengketa politik ke meja sidang MK, juga memiliki dua pancaran wajah. Satu sisi untuk menghadang ajaran dianut para “pecundang” di arena politik praktis bahwa, “lebih baik digugat curang daripada menggugat curang”, sementara sisi lain, memberi hikmah penurunan eskalasi ketegangan yang dicurigai aparat bakal terlampiaskan melalui jalur inkonstitusional. Seperti kenyataan terjadi, hingga jelang hari raya idul fitri, keamanan tetap stabil terkendali.

Di depan mata terbentang dua guratan wajah berbeda. Mereka yang kalah, lagi bersusah hati menunggu nasib akhir dari putusan MK. Sementara para pemenang bersuka ria menyiapkan susunan kabinet (entah kabinet apa dinamai). Di balik suka ria, teringat ucapan Jokowi saat kebingungan mencari pasangan “Saya lagi menimbang dua putra Sulawesi, Si “A” enak di belakang tapi susah di depan. Si “J” enak di depan tapi susah di belakang. Milih mana ya?”.

Makassar, 25 Juli 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun