[caption id="attachment_318155" align="alignnone" width="624" caption="yasser arafat (cnn.com)"][/caption]
Menyebut negara Palestina, sontak yang terbayang dalam benak saya bukanlah pemukiman warga sipil di Gaza yang luluhlantak, juga bukan wajah orang-orang Palestina yang ganteng dan molek itu yang kini berlumuran darah, juga bukan pada mayat-mayat tak berdosa yang bergelimpangan dan tertimbun reruntuhan bangunan itu, tapi yang terbayang justru wajah seorang kakek bersorban dan berjenggot lebat, yang saat ini seolah menesteskan air mata dipembaringannya di alam keabadian sana. Garis wajahnya, melekat dalam ingatan saya.
Awal mula benak saya akrab dengan wajah itu ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, sewaktu rajin ikut numpang membaca majalah langganan ayah, Pandji Masyarakat. Semangat kakek yang gigih berjuang memerdekakan Palestina itu, ikut memompa semangat juang dalam keluarga saya, sehingga adik saya yang paling buncit, pun diberi nama diambil dari nama kakek itu. Gelora juang sang kakek itu, ikut berpengaruh pada pilihan saya saat masuk perguruan tinggi, sehingga saya memilih Jurusan Hukum Internasional.
Sebelum meninggalkan bangku kuliah Strata Satu, saya harus menyelesaikan tugas akhir penulisan skripsi. Saat memilih topik penelitian, lagi-lagi wajah kakek berjenggot lebat itu, selalu datang merajut. Ia seolah berbisik bahwa inilah saat yang tepat bagi saya memberikan sumbangsih perjuangan rakyat Palestina. Saya tak dapat mengelak, maka judul skripsi saya; “Permasalahan Pemukiman Israel di Wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat Meliputi Yerusalem (Suatu Tinjauan Bentuk-Bentuk Perolehan Wilayah Berdasarkan Hukum Internasional).
“Memilih judul ini, apakah kamu bisa ke Palestina melakukan penelitian?”, tanya dosen pembimbing saya yang mantan anggota Komnas HAM itu. Pertanyaan dosen di awal 1990-an itu, sontak menciutkan nyali saya, sehingga proposal pengajuan judul skripsi saya, enam bulan tergeletak diam di atas meja tanpa disentuh. Tapi wajah kakek itu, selalu saja datang merajut untuk memompa nyali saya, menjelaskan bahwa prosedur penelitian tak selamanya dengan peninjauan lapangan, tapi juga melalui penelusuran pustaka, “library research”.
Bermodal biaya pas-pasan, menumpang di rumah seorang kerabat jauh, naik metro mini, naik bajaj, bahkan lebih banyak jalan kaki, selama sebulan lebih sendirian saya menelusuri jalan di Jakarta yang kala itu untuk pertama kali saya kunjungi. Nyaris seluruh “embassy” negara Timur Tengah yang berada di Jakarta, saya datangi. Khususnya Negara yang memiliki kaitan langsung dengan konflik Palestina. Tak terkecuali sejumlah lembaga pengkajian dan penelitian, saya kunjungi untuk melakukan penelusuran pustaka.
Sungguh melelahkan memang, tapi bayangan wajah kakek bersorban itu seolah menemani selalu, sehingga nyali saya tak pernah surut. Terlebih lagi karena nyaris seluruh “embassy” saya kunjungi penuh antusias dan memberi perhatiaan penuh. Sukarela memberikan banyak buku dan dokumen yang berkaitan erat konflik kewilayahan di Palestina. Dan sudah dua puluh tahun lebih saya meninggalkan bangku kuliah, buku-buku dan dokumen-dokumen itu masih saja tersusun rapi bersama skripsi saya di rak pustaka pribadi saya di rumah.
Paling mengesankan hingga kini, adalah pemberian “souvenir” dari Duta Besar Palestina di Jakarta, berupa selembar bendera “The State of Palestine”, seukuran 200 x 160 cm. Bendera yang sedikit lusuh itu, ternyata bekas bendera yang pernah dikibarkan di Kantor Kedutaan Besar itu selama dua tahun. Souvenir bendera itu pun masih terjaga rapi dalam rak pakaian saya, setelah sebelumnya hampir sepuluh tahun lamanya saya tempelkan di dinding sebagai penghias kamar tidur saya, dulu semasa saya masih bujang.
Akibat itu, sekian lama saya tertidur di kamar ditemani bendera Palestina yang tertempel di dinding. Saatnya dalam sebulan terakhir, seluruh koran memberitakan, stasiun televisi dan media on-line menampilkan gambar kepulan asap roket Israel, pemukiman sipil di Gaza yang luluhlantak, wajah ibu dan anak-anak berlumuran darah, mayat-mayat terkubur reruntuhan bangunan, maka tak ayal otak saya sontak mendesis, telapak tangan dan kaki serasa dingin, dada sesak, atau entah apa lagi lainnya terjadi pada diri saya yang tak mampu saya sebut.
Saat bersamaan, wajah kakek bersorban itu datang lagi menghampiri. Ia seolah meneteskan airmata, membasahi pipih yang ditumbuhi bulu lebat itu. Sesekali manarik ujung sorbannya untuk mengusap air mata kesedihannya. “Tak mungkin ia menangis, dia pejuang sejati yang pantang meneteskan air mata setetes pun”, bisik saya, seperti pernah diucapkan presenter Egypt TV saat pemakamannya 11 November 2004. Tapi kenyataan menjadi mungkin, ia telah dikubur di Ramallah,sehingga tak lagi punya daya melawan, selain meneteskan air mata.
Sekalipun ia telah wafat, tapi semangatnya tak pernah terkubur. Semangat itu ada di dada para pejuang Hamas di Gaza dan para pejuang Fatah di Tepi Barat. Bahkan semangat itu ada di dada setiap insan di muka bumi ini, tak terkecuali di dada orang-orang Yahudi, bahkan di dada para serdadu Israel itu sendiri, karena setiap diri memiliki nurani yang tak mungkin bisa diingkari kebenarannya. Nurani milik siapapun juga, pasti terkoyak melihat lumuran darah ibu dan anak-anak, serta puluhan mayat-mayat tak berdosa bergelimpangan.
Semasa hidup, nurani kakek bersorban itu pasti ikut terkoyak, tapi tak ia tak meneteskan air mata yang akan mungkin menggoyahkan semangat juang sebangsanya. Ia telah menutup rapat-rapat kran air matanya, lalu memilih maju ke medan juang, meski hanya bermodal sebatang pistol yang setiap saat terselip dipinggang kanannya. Ia tak bermodalkan pedang tajam, tapi menjadikan lidah sebagai ketajaman diplomasinya. Ia berhasil membelalakkan mata dunia ketika untuk pertamakalinya Palestina tampil di atas mimbar Sidang Umum PBB.
Bukan hanya sebatas itu, melalui jalan diplomasi ia berhasil menjinakkan arogansi Amerika Serikat terhadap Dewan Keamanan PBB. Ia gencar melakukan perundingan, hingga saatnya di tahun 1994, bersama Shimon Perses dan Yitzhak Rabin, Ketua PLO ini dianugerai Nobel Perdamaian bagi keberhasilan perundingan Persetujuan Oslo 1993, setelah sebelumnya di tahun 1988 ia mendeklarasikan kemerdekakan Palestina, di Aljir-Aljazair, 15 November 1988, sekaligus penebus nazarnya tak akan menikah sebelum Palestina Merdeka.
Apa terjadi di Gaza sebulan terakhir,membuat saya malu karena tak mampu berbuat apa-apa. Baru satu hal telah saya lakukan untuk Palestina. Simpulan skripsi saya dulu sejak awal telah menyerukan apapun dalih bangunan pemukiman Israel di Tepi Barat dan Gaza, “nahal” atau “kibbuts” dan “moshav”, adalah pelanggaran hukum internasional adalah bentuk “occupation”, sebagaimana termaktub pada pasal 47-48 Genewa Convention 1949, maka tak ada alasan bagi Israel untuk tidak meninggallkan, sebagagaimana pula telah diserukan oleh DK PBB melalui Resolusi 242, tanggal 22 November 1967, pasca perang “enam hari”.
Setiap kali menatap wajah duka rakyat di Gaza, setiap kali itu juga terbayang wajah kakek bersorban yang ada di alam baqa sana, Yasser Arafat. Maafkan karena kemampuan saya hanya sebatas skripsi itu. Selebihnya, saya tak tahu harus berbuat apa lagi, sekalipun jeritan nurani telah mengoyak dinding kebatinan, karena soal Palestina sejatinya adalah soal nurani dan kebatinan. Murni soal kemanusiaan, sama sekali bukan soal idiologi, apalagi keyakinan penganut salah satu agama, karena Palestina memang adalah tanah leluhur para nabi.
Makassar, 06 Agustus 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H