SEPEKAN. Bahkan telah sebulan. Gegara Covid-19, si Coronavirus pengganggu itu, rutinitas hidup berantakan. Terlihat kurva menanjak, penanda, masih berlanjut.Â
Subuh dinihari tadi, sejak Anda bangun, hingga saat detik ini, apa saja yang Anda telah kerja? Turun dari tempat tidur, ke kamar kecil. Wudhu. Shalat subuh? Mengintip, layar hape. Berolahraga ringan? Membaca koran? Pula, menyeruput kopi. Ke kamar kecil lagi. Menyikat gigi. Mencuci badan. Berpakaian entah apa lagi.
Rutinitas demikian, dijalani sejak usia balita. Kini ada yang berantakan. Tak berlanjut ke sekolah. Tak berlanjut ke tempat kerja. Gegara Covid-19, si Coronavirus tidak mewujud itu, #dirumahaja. "Stay at Home".Â
Adakah yang ganjil? Adakah sesuatu yang meresahkan? Anda tak usah gegabah menjawab. Takut keliru. Musabab sejak 1892 ratusan tahun lampau, William James di buku tua, "Texbook of Psychology", telah mengajukan pertanyaan sama. Jawaban publik, jadilah buku itu.
Turun dari tempat tidur. Langsung ke kamar kecil, berwudhu lalu sholat subuh. Anda menjamin, jika itu bukti, Anda orang yang taat, menunaikan perintah agama? Lalu, sejenak mengintip layar hape, Anda mengira karena ingin tahu informasi di pagi hari? Olahraga ringan karena Anda ingin sehat? Baca koran, dalih Anda ingin tahu berita terbaru? Menikmati kopi hangat sebab Anda tak suka teh? Menyikat gigi, juga mencuci badan, maksud Anda agar badan bersih? Dan seterusnya.
Demikian dalih Anda, juga saya. Dan William James, seorang filsuf perintis mazhab pragmatisme di Harvard University itu -- andai saja masih hidup -- menyimaknya, pastilah terkekeh. Menuduh kita narsis.Â
Baginya, rutinitas kita jalani setiap hari, dominan bukanlah tindakan sadar. Kita jalani tak jauh beda dilakukan seekor ayam. Tidak punya akal tapi subuh sehabis berkokok, berkeliling cari makan. Lalu sore, tanpa dituntun, ayam itu balik sendiri ke kandang. Bukan ke kandang lain.
Rangkai rutinitas. Berulang kita kerjakan, kata Charles Duhigg, di bukunya; "The Power of Habit" (2019), sesungguhnya hanya "Habit". Kebiasaan yang dikerja berulang. Terbiasa, kelak mewujud kebiasaan. Kita lalui, tidak lagi, diawali berfikir. Bangun, langsung wudhu, lalu shalat, itu "habit".Â
Membuka hape, "habit". Baca koran, "habit". Sikat gigi, juga mandi, dalih Anda, ingin bersih dan segar. Itu, hanya konsokuensi karena Anda mandi. Sebenarnya, "habit". Janganlah dibolak balik.
Anda mesti tahu, jelas Joseph A. Michelli di bukunya, "The Starbucks Experience" (2007, kenapa Starbucks Coffee, misalnya. Dirintis 1971 di tepi jalan di Seattle, Washington, kini menjadi usaha kedai kopi global mendunia. Kini, punya 20.336 kedai, tertebar di 61 negara. Indonesia, ada 326 kedai.Â
Rahasianya? Merubah kebiasaan! Michelli mengungkap, resep LATTE. Listen (dengarkan), Acknowledge (akui), Take action (tindaki), Thank (terimakasih), Explain (jelaskan). Sebegitu saja!