"KAU lihat sungai, danau, rumah-rumah dan gereja di sana itu? Tempat itu tak pernah berubah, sejak lima abad yang lampau, kecuali bahwa pada masa itu, di tempat itu sangat sunyi. Pernah ada wabah penyakit aneh yang menjalar ke seluruh penjuru Eropa, tetapi tak ada seorang yang bisa mengerti, mengapa begitu banyak orang yang menemui ajalnya. Mereka menyebut wabah itu, "Balck Death" -- azab yang dikirimkan Tuhan -- karena dosa-dosa umat manusia."Â
Rangkai kalimat itu -- utuh saya mengutip satu paragraf -- saya temukan kala menelusuri lembar demi lembar novel "Sebelas Menit". Diterjemah dari bahasa aslinya "Onze Minutos". Salah satu dari 30-an karya novelis Brasil, Paulo Coelho. Novel lainnya, lebih termasyhur, "The Alchemist". Diterjemah dalam 67 bahasa dunia. Terjual 150 juta copy. Edisi Indonesia, diberikan judul "Sang Alkemis". Kisah anak gembala mencari harta karun. Tetapi harta itu justru ditemui pada dirinya.
Laiknya karya Coelho, inspiratif. Bertabur kalimat metafora. Liar menyisip majas pesan spiritual. Menghantar kita merenung, memahami haqikat hidup. Memaknai arti kehidupan, menuju cinta sejati. Tak lebih kurang simaklah novel "Sebelas Menit". Kisah tentang Maria, gadis desa seperti banyak lainnya. Berharap menjalani hidup di kota. Bermimpi, kelak disunting seorang pangeran. Bermukim di bawah genteng sebuah rumah mewah. Nasib berkata lain. Maria, menjadi pelacur.
Kisahnya, klasik. Sejak mula banyak buku, juga film, berkisah sama. Tetapi selain karena Coelho, memiliki ke-beda-an perspektif mengurai kisah, juga karena pada bagian tengah, menulis amsal pandemic "Black Death", firasat saya curiga. Coelho, sesungguhnya, tak berkisah tentang Maria, berhasrat hidup mewah, berujung terlibat dunia pelacuran. Coelho -- kata saya -- menghadirkan protagonis Maria hanyalah majas. Coelho berkisah tentang siapa kita. Berhasrat hidup berlebih.
Pandemic "Black Death", disebut di paragraf itu. Wabah penyakit pes -- novel "La Peste", Albert Camus -- pertengahan abad ke-14 (1347-1351). Great Mortality, kematian akbar. Mematikan 50 juta orang. Melenyapkan sepertiga, malah duapertiga, populasi masyarakat Eropa. Masyarakat, tak tau. Hendak berbuat apa. Saat itulah, tulis Coelho, muncul sekelompok orang, yang sukarela mengorbankan diri. Berhari-hari, menyiksa diri. Merajam diri dengan cemeti besi. Lalu, pingsan.
Coelho, penganut Nasrani itu, alih-alih menghentak nalar saya. Pandemic Covid-19, Coronavirus yang mengglobal saat ini, mestikah juga dilawan dengan cara sama?Â
Akal tolol saya mengingau; kenapa tidak! "Liberation Theology". Teologi pembebasan, dulu diajarkan guru saya, secuil saya paham. Bahwa, permasalahan sosial -- lebih lagi di era globalisasi -- terjadi, bukan semata akibat struktural. Kebebasan kita miliki, atas kodrat kemanusiaan, seringkali berlebih. Itu musababnya.
Tak ada cara lain membebaskannya, selain diri kita sendiri mesti membebaskannya. Dan orang-orang yang merajam diri sendiri itu, tak henti menyerukan nama Tuhan, juga bagian dari jalan pembebasan.Â
"Akhirnya mereka lebih menikmati siksaan badaniah itu, ketimbang bekerja memanggang roti". Sebab, rasa sakit, lanjut Coelho, tak lagi dinilai penderitaan. Tapi, biang pembebasan. Rasa sakit, telah menjelma nikmat tak terperi. Dan Covid-19, si Coronavirus itu hadir, akankah itu juga jalan menuju pembebasan?
Makassar, 09 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H