“Jika besar nanti aku ingin seperti Habibie”. Demikian cita-cita banyak kanak-kanak di negeri ini. Di idola guna menjejak tapak kaki “si mata bolak”. Sang jenius, jagoan peracik pesawat terbang itu, bahkan pernah menerbangkan republik ini. Dari landasan pacu otoritarianisme, menuju ke alam demokrasi terbuka. “Ya, Sejak masa kanak-kanak, memang kita harus punya mimpi tinggi-tinggi. Hitler saja, meluluhlantak setengah daratan Benua Eropa, juga bermula dari mimpi”.
Kanak-kanak, mengagumi sosok B.J. Habibie karena kecerdasannya. Terobsesi pada dedikasinya meracik pesawat terbang. Satu diantara racikannya paten dalam kancah teknologi penerbangan dunia, “Crack Progression Theory”. Sebagaimana diurai, literatur Advisory Group for Aerospace Research and Development (AGARD), kelompok para Penasihat Penelitian serta Pengembangan Aerospace milik NATO (North Atlantic Treaty Organization) yang berpangkalan di Inggris.
Sebelum temuan Habibie diterapkan, di usianya 32 tahun, banyak pesawat terbang mengalami kecelakaan. Meski banyak ahli telah menduga faktor musabab kecelakaan itu, tapi tak satupun mampu menemukan solusinya. Pesawat yang telah berkali-kali melakukan penerbangan, risiko struktur materialnya akan mengalami fatigue, semacam kelelahannya menahan beban. Akibat itulah, menimbulkan efek “crack”, berupa retakan pada bagian body, terutama di bagian sayap.
Guna menanggulangi permasalahan panjang dan berlarut dihadapi dunia penerbangan itu, sulit menemukan solusinya. Tak lain karena menghitung material “crack”, atau keretakan body serta sayap pesawat terbang bukanlah urusan sederhana. Mendeteksinya sangat rumit. Memerlukan perhitungan hingga tingkatan atom per-atom. Tetapi berkat kejeniusan dan ketekunan Habibie, ia berhasil menghitung detailnya hingga batas presisi. Temuan yang benar-benar spektakuler.
Crack progression theory nama riset yang telah ditemukan Habibie dalam upaya menanggulangi kerumitan panjang yang membahayakan keselamatan penerbangan. Keretakan di bagian body dan sayap pesawat akibat guncangan, terutama di saat take off dan landing, mulai menemukan jalan keluar. Berdasar dari hasil temuannya itu, kalangan para ahli penerbangan, menjulukinya “Mr. Crack”. Lalu, mereka menamai temuan itu, “Theory of Habibie” atau “The Habibie Factor”.
Berwawancara dengan Koran Republika, 27 Juni 2016, Habibie menjelaskan, bahwa bukanlah dirinya yang memberi nama hasil risetnya seperti itu, tapi oleh mereka para ahli penerbangan. Mereka itu, banyak mengulas hasil temuan Habibie, tapi dipastikannya sebagai ulasan dangkal. Bagian terkecil dari seluasan hasil risetnya. "Hanya sedikit yang tahu. Aslinya itu rahasia". Kata Habibie, ada alasan tak dipublis meluas. Tapi terpenting, hasilnya telah dinikmati secara meluas.
Bisa dibayangkan, andai saja Mr. Crack tak menemukan Crack Propagation Theory, maka setiap hari bakal tersiar kabar kecelakaan pesawat terbang. Terjatuh, akibat "crack", body robek, atau patah sayap. Di situlah hebatnya, maha karya putra terbaik bangsa itu. Ia telah menyelamatkan nyawa manusia dalam penerbangan pesawat. Tercatat sebagai amalan jariyah baginya. Selamat jalan B.J. Habibie, kami berduka. Abadi karyanya di bumi, maka ia tetap hidup 1000 tahun lagi.
Makassar, 12 September 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI