Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

First Lady Separuh Jiwa

4 Juni 2019   03:06 Diperbarui: 4 Juni 2019   03:55 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mantan first lady Indonesia, Kristiani Herrawati, Ani Yudhoyono, menghembuskan nafasnya yang terakhir, Sabtu, 1 Juni 2019, di National University Hospitol Singapura. Ketegaran sang suami, jenderal penuh berbintang empat itu, mantan Presiden RI keenam Soesilo Bambang Yudhoyono, tak kuasa menyimpan rasa haru. "Terima kasih Bu Ani, telah mendampingi saya memimpin negeri ini". Separuh jiwanya telah pergi. Ia tak kuasa menahan tetes airmatanya.

Masyarakat Indonesia kembali berduka. Kepergian Ani Yudhoyono, telah mencukupkan tiga mantan first lady Indonesia, lebih awal mendahului sang suami ke alam barsya. Siti Hartinah, wafat 28 April 1996, mendahului suami, mendiang Soeharto, juga jenderal berbitang penuh, bahkan bintang lima, mantan Presiden RI kedua. Lalu Hasri Ainun Besari, wafat 22 Mei 2010, mendahului sang suami, BJ. Habibie, sang professor, mantan Presiden RI ketiga.

Kepergian ketiga mantan first lady Indonesia itu, suratan takdir mendahului sang suami yang tak lain adalah mantan Kepala Negara, pemimpin tertinggi di republik ini, mempertontonkan kepada kita, betapa sayang dan cinta mereka kepada sang kekasih, telah setia mendampingi untuk memimpin negeri berpenduduk 269 juta jiwa, peringkat keempat di dunia. Menetap di 13.446 pulau, 746 bahasa daerah berbeda, tentu memiliki keinginan berbeda-beda pula.

Sebab itu, keberadaan seorang first lady, mendampingi seorang Kepala Negara, memiliki arti dan peran yang tiada banding. Sendirinya, tentu memiliki catatan pinggir yang tiada tanding. Catatan yang tak kuasa dielak. Ikut serta menjadi catatan penentu perjalanan sebuah negeri. Sebutlah misal diantaranya, saat first lady yang berlesung pipit itu, membisiki sang Presiden agar mendirikan taman miniatur Indonesia, meski ditantang banyak orang, terealisasi juga.

Sama saja ketika first lady, sang dokter itu, membisiki kekasihnya, sang ahli peracik pesawat terbang itu, yang kelak memimpin republik ini, memohon agar mendirikan Bank Mata guna menyantuni para penyandang tunanetra. Tak kurang, pula dijalani first lady, si putri prajurit kharismatik itu, saat membisiki lelaki jangkung yang membuai cintanya, bahwa di Papua ada perjudian uang besar. Sontak sang Presiden memerintahkan aparat membrengus mereka.

Seperti itu catatan pinggir terkecilnya, di balik catatan terbesarnya. Catatan terbesar, justru datang dari sosok sang first lady Argentina, Maria Eva Duarte, wafat mendahului suaminya, Presiden Juan Peron. Jazadnya tak masuk ke liang lahat. Rakyatnya tak tega. Meminta agar jazad bekas pemain film itu diawetkan saja guna mengenang jaza baiknya bersama berjuang membela kaum buruh dan fakir miskin. Sang suami, Kepala Negara, tak kuasa menampiknya.

Kisah sebaliknya di negeri tetangga, Maha Vajiralongkorn, Raja Thailand itu, menanggalkan paksa isterinya yang ketiga, akibat terindikasi korupsi di kerajaan. Penerima warisan seniali RP. 422 triliun itu, justru memilih Suthida Tidjai, mantan pramugari Thai Airways, tidak lain adalah pengawal pribadinya, dinikahi tiga hari sebelum penobatan untuk menjadi first lady Thailand. Dalihnya sederhana, "first lady, separuh jiwa penentu masa depan sebuah negeri".

 Makassar, 4 Juni 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun